Perlu Ubah Strategi Pengamanan untuk Penyelesaian Konflik di Papua
Utama

Perlu Ubah Strategi Pengamanan untuk Penyelesaian Konflik di Papua

Penyelesaian berbagai kasus kekerasan di Papua harus dibarengi dengan koreksi, evaluasi, dan penataan ulang kebijakan serta pendekatan yang digunakan untuk Papua. Pendekatan keamanan yang militeristik harus diubah dengan mengutamakan peran dan fungsi kepolisian untuk melakukan penegakan hukum.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, mengatakan perkembangan HAM di Papua tidak ada yang berubah. Begitu juga dengan penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, terutama yang telah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM seperti peristiwa Wasior dan Wamena.

“Kasus Wasior dan Wamena sampai sekarang tidak ada kemajuan (untuk didorong sampai pengadilan HAM, red),” paparnya.

Mengingat Presiden Joko Widodo telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam berbagai peristiwa termasuk Wasior dan Wamena, Yan berpendapat kedua perkara itu harus dilanjutkan penyelesaiannya. Kendati demikian jangan sampai kedua peristiwa itu bernasib seperti perkara Paniai dimana pengadilan tingkat pertama membebaskan terdakwa.

Menurutnya, hasil penyelidikan Komnas HAM untuk kasus Paniai sudah sangat jelas mengidentifikasi pelakunya dan rantai komando. Tapi sayangnya hasil penyidikan kejaksaan agung hanya menetapkan 1 orang terdakwa untuk kasus Paniai. “Hal ini menurunkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap penyelesaian kasus,” imbuhnya.

Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Yuli Langowuyo, mengatakan masyarakat sipil yang paling rentan menjadi korban atas konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Ironisnya, aparat keamanan menggunakan kantor pelayanan publik sebagai pos militer. Akibatnya masyarakat sipil rentan menjadi korban ketika kontak senjata terjadi. “Korbannya itu masyarakat sipil, termasuk anak-anak,” tegasnya.

Konflik bersenjata pun memaksa sebagian masyarakat Papua untuk mengungsi. Yuli mengatakan kehidupan para pengungsi sangat memprihatinkan karena mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti hak atas pangan, kesehatan, dan pendidikan. Tercatat sepanjang tahun 2022 sedikitnya terjadi 10 konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan kelompok bersenjata. Tak jarang konflik trerjadi di ruang publik.

Ia melhat pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini di Papua tidak memberikan rasa aman terhadap seluruh warga Papua. Bahkan ada pandangan di kalangan masyarakat yang menyebut aparat keamanan melindungi warga pendatang, bukan orang asli Papua. “Strategi keamanan harus diubah, sehingga mampu memberikan rasa aman bagi setiap orang di Papua,” pintanya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi memberi pernyataan resmi kepada publik selaku Kepala Negara Republik Indonesia. Dalam pernyataannya itu, Presiden mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat pada berbagai peristiwa. “Saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat,” kata Presiden Jokowi dalam konferensi Pers di Istana Kepresidenan Jakara, Rabu (11/1/2023).

Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang disebut Presiden Joko Widodo. DUa diantaranya peristiwa Wasior di Papua tahun 2001 dan peristiwa Wamena di Papua 2003. Jokowi menyebut bersimpati dan berempati terhadap korban dan keluarganya. Pemerintah berupaya memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian melalui mekanisme yudisial.

Pemerintah akan berupaya serius agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. Presiden Jokowi memerintahkan Menkopolhukam untuk mengawal berbagai upaya konkrit pemerintah itu. “Semoga ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam NKRI,” ujar Jokowi.

Tags:

Berita Terkait