Perluasan Delik Kesusilaan di RKUHP Pun ‘Gantung’ di Parlemen
Fokus

Perluasan Delik Kesusilaan di RKUHP Pun ‘Gantung’ di Parlemen

Ada harapan agar pasal-pasal delik kesusilaan dalam RKUHP sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, definisi dan elemen/unsur pasal tindak pidana pemerkosaan dalam RKUHP harus diperjelas ruang lingkupnya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Dalam KUHP, misalnya, tindak pidana perzinahan merupakan delik aduan, sehingga ada pihak yang dirugikan untuk mengadukan tindak pidana ini. Bila pelaku masih anak-anak, maka pihak yang dirugikan adalah orang tua. Sedangkan bila pelakunya adalah perempuan menikah, maka suami yang terikat sah pernikahan sebagai pihak yang dirugikan. Begitu pula sebaliknya bila pelakunya ada laki-laki menikah, maka istri sah terikat perkawinan sebagai pihak yang dirugikan.

 

Menurutnya, bila delik tindak pidana zina dalam RKUHP ini tidak menjadi delik aduan, konsekuensinya pihak yang dirugikan semakin dipermalukan akibat zina yang dilakukan pasangan dalam pernikahan sah. Sayangnya, dalam RKUHP tidak jelas perihal siapa pihak ketiga yang tercemar yang dapat mengadukan mereka yang diduga melakukan perbuatan zina di luar pernikahan.

 

“Bila diterapkan, bakal berbahaya lantaran batasan perihal pihak ketiga yang tercemar tidak jelas, sehingga tidak memiliki kepastian hukum,” kata Supri.  

 

Tak hanya itu, pembuktian tindak pidana kesusilaan sulit pembuktiannya. Terkecuali, perbuatan asusila telah direkam, sehingga dapat dibuktikan unsur-unsur perbuatan tindak pidananya. “Secara moral memang sebagian besar, kita tidak sepakat (dengan perilaku seks bebas dan LGBT). Tapi kalau di bawah ke ranah hukum pidana, itu dua hal hukum yang berbeda,” kata dia.

 

(Baca Juga: Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia)

 

Kelemahan

Sementara dalam pasal tindak pidana pemerkosaan dalam RKUHP dinilai Supri banyak kelemahan. Khususnya bila dikaitkan dengan perkembangan pengertian atau definisi dari perkosaan itu sendiri. Apalagi, jika dikaitkan dengan tren hukum pidana, instrumen HAM, dan praktik pengadilan internasional yang sudah mengkaitkan perlindungan terhadap perempuan dan anak, khususnya terhadap praktik kejahatan seksual.

 

Aliansi, kata Supri, setidaknya memberi catatan terhadap sejumlah kelemahan tindak pidana pemerkosaan ini. Pertama, perumusan elemen/unsur perkosaan belum memadai, khususnya terkait pengertian persetubuhan. Kedua, ketiadaan konsep perkosaan dalam perkawinan. Ketiga, konsep perkosaan bagi anak masih minim, mencakup pula pembatasan umur anak yang tidak konsisten. Keempat, penjelasan definisi frasa “tanpa kehendak” atau “tanpa persetujuan” masih belum jelas. Kelima, penempatan perkosaan dalam Bab Kesusilaan.

 

Menurutnya, konsep persetubuhan dalam RKUHP tidak menjelaskan secara gamblang yang tidak jauh berbeda dengan KUHP yang berlaku saat ini. Ia menilai lantaran tidak adanya penjelasan, maka pengertian persetubuhan bakal mengikuti pendapat yang sudah umum diterima di masyarakat. Padahal, konsep persetubuhan saat ini sudah mengalami perkembangan.   

Tags:

Berita Terkait