Perluasan Pasal Zina, Pahami Prinsip Margin of Appreciation
Berita

Perluasan Pasal Zina, Pahami Prinsip Margin of Appreciation

Universalitas HAM diterapkan berbeda-beda di setiap negara. Namun, tidak boleh melupakan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: RES
Gedung Komnas HAM. Foto: RES
Proses pengujian Pasal 284, 285 dan 292 KUHP yang diajukan oleh 12 warga negara di Mahkamah Konstitusi terus bergulir. Sejumlah pihak yang hadir dalam persidangan itu memaparkan pandangannya masing-masing. Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Dadang Hawari, pernah menjadi ahli yang diajukan pemohon. Inting, ia menyebut konsep HAM yang dianut negara Barat berbeda dengan Indonesia.

Komisioner Komnas HAM, Nur Khoiron, menilai sebagian penjelasan yang disampaikan oleh ahli dari pihak pemohon itu dalam HAM disebut margin of appreciation yakni pembatasan terhadap penerapan HAM sebagai bentuk penghormatan bagi moralitas yang berkembang di sebuah negara. Namun, keinginan pemohon untuk memperluas makna tiga pasal kesusilaan dalam KUHP mungkin saja tidak selaras dengan prinsip  margin of appreciation.

Pasalnya, dikatakan Nur Khoiron, perluasan ketentuan itu akan berdampak pada kriminalisasi yang berlebihan. Subyek hukum yang selama ini tidak terjerat bisa dikriminalisasi jika MK mengabulkan permohonan para pemohon. Padahal, hubungan yang dijalin antar manusia, baik yang berlainan jenis atau sesama jenis merupakan hak pribadi (privacy) setiap orang dimana negara tidak boleh mengintervensi.

The right to privacy itu dilindungi, bukan malah diintervensi negara. Ini yang salah kaprah dalam permohonan pengujian pasal-pasal yang diajukan pemohon yang saat ini diuji MK,” kata Nur Khoiron kepada hukumonline.com lewat telepon, Rabu (13/09).

Perluasan pasal perzinaan, pemerkosaan dan pencabulan yang diajukan pemohon menurut Nur Khoiron tidak tepat menggunakan dalih margin of appreciation jika ujungnya kriminalisasi terhadap subyek hukum yang selama ini tidak disasar ketentuan tersebut. Hal itu akan mengubah tanggungjawab negara dalam upaya penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) HAM.

Nur Khoiron mengingatkan, margin of appreciation harus dipahami secara benar, ini ditujukan dalam rangka menyesuaikan penerapan universalitas HAM di setiap negara. Misalnya, perkawinan sejenis, tidak semua negara bagian di Amerika Serikat mau mengakuinya. Dalam konteks tersebut, negara bisa melakukan pembatasan, tapi argumentasinya harus berlandaskan HAM. Serta hubungan itu tidak dikriminalkan karena menyangkut privacy seseorang.

Nur Khoiron mengatakan negara boleh tidak mengakui mengakui perkawinan sesama jenis. Tapi, tidak boleh mengkriminalkan karena negara berkewajiban menjalankan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. “Kalau negara belum siap memfasilitasi perkawinan sesama jenis, maka negara tidak perlu mengakuinya. Tapi pelakunya tidak boleh dikriminalkan,” tegasnya.

Nur Khoiron menyatakan pemaparannya itu merupakan salah satu poin yang disorot Komnas HAM dalam pengujian pasal 284, 285 dan 292 KUHP yang saat ini berproses di MK. Komnas HAM telah memutuskan untuk menjadi pihak terkait dalam perkara tersebut. Rencananya Komnas HAM akan menyampaikan pandangannya di persidangan MK pada pertengahan pekan depan.

Sebelumnya, lembaga pemerintahan yang menjadi pihak terkait dalam perkara itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), juga mempersoalkan risiko perluasan itu. Komnas Perempuan menolak jika pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP diperluas cakupannya. (Baca juga: Komnas Perempuan-ICJR Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan)

Sebagaimana Komnas HAM, Komnas Perempuan khawatir perluasan pasal kesusilaan itu akan menimbulkan banyak kriminalisasi. Komisioner Komnas Perempuan, Azriana, menyebut perluasan pasal 284 KUHP sebagaimana diinginkan pemohon akan mengkriminalkan orang yang perkawinannya tidak diakui oleh negara. Misalnya, suami-istri dari kelompok penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur. (Baca juga: Ancaman yang Dikhawatirkan Jika Pasal Zina Diperluas)

“Sampai saat ini mereka berhadapan dengan regulasi yang mendiskriminasi, sehingga menyulitkan mereka untuk mendaftarkan perkawinannya sebagai sebuah perkawinan yang sah (diakui negara),” kata Azriana beberapa waktu lalu di kantor Komnas Perempuan di Jakarta.
Tags:

Berita Terkait