Perluasan Pidana Teroris Mesti Diterapkan Secara Hati-Hati
RUU Terorisme:

Perluasan Pidana Teroris Mesti Diterapkan Secara Hati-Hati

Salah satu solusinya, fungsi-fungsi intelijen mesti diperkuat agar penerapan perluasan pasal pidana materil terorisme ini tidak keliru dan tidak melanggar HAM. Selain itu, perlu diperkuat hak-hak korban terorisme dalam RUU Terorisme ini.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Itu kalau menurut UU No. 15 Tahun 2003 enggak bisa dipidana. Tetapi, dengan UU yang baru, asal bisa dibuktikan bahwa dia terafiliasi, terkoneksi dengan satu kelompok atau organisasi teroris, maka bisa diproses pidana, karena perbuatan pelatihannya itu akan dikonstruksikan sebagai perbuatan persiapan untuk melakukan teror. Juga tetap harus dibuktikan bahwa dia itu pernah pergi ke sana (Suriah/Irak) dan menjadi anggota teroris,” jelasnya.

 

Panja DPR berharap perluasan pasal pidana materi itu tidak dipergunakan secara keliru atau sewenang-wenang oleh Polisi, Densus 88 dan BNPT. Sebab, bisa saja tidak semua orang yang bepergian ke Suriah atau Irak bertujuan bergabung dengan organisasi teroris, tetapi untuk keperluan lain. “Kita minta perluasan pasal pidana materil ini mesti diterapkan secara hati-hati oleh aparat penegak hukum. Ini sebagai contoh-contoh hal-hal yang baru,” lanjutnya.

 

Anggota Panja RUU Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme lain, Muhammad Nasir Djamil menyarankan agar fungsi-fungsi intelijen mesti diperkuat agar penerapan perluasan pasal pidana materil terorisme ini tidak keliru. Sebab, seberapapun bagusnya aturan bila menangkap/menahan seseorang tanpa ada bukti yang kuat, berpotensi melanggar HAM, yang seharusnya tidak dapat dipidana.

 

“Misalnya, dia merencanakan ini (teror), dia sudah di-baiat, diasosiasikan bagian dari organisasi jaringan terorisme harus disertai bukti-bukti yang kuat. Nah, karena itu fungsi-fungsi intelijen harus lebih kuat dan terpadu gitu (dengan Polri),” pintanya.

 

Penguatan hak korban

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyoroti soal hak-hak korban tindak pidana terorisme. Misalnya, pertolongan pertama bantuan medis langsung yang mesti ditanggung pemerintah sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU No 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Pasal 6

(1). Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

 

Menurutnya, pengaturan hak korban terorisme ini menimbulkan masalah terutama masalah pemberian kompensasi. Saat ini, pengaturan hak korban terorisme untuk mendapat kompensasi diatur Pasal 7 ayat (4) UU No. 31 Tahun 2014  jo Pasal 38 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang sudah ditetapkan berdasarkan UU No. 15 tahun 2003.  

Tags:

Berita Terkait