Perludem: Sistem Proporsional Terbuka Membuat Caleg Setia Kepada Parpol dan Pemilih
Terbaru

Perludem: Sistem Proporsional Terbuka Membuat Caleg Setia Kepada Parpol dan Pemilih

Sistem proporsional tertutup menyebabkan tidak ada hubungan psikologis antara anggota dewan dengan pemilihnya.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Tidak ada hubungan psikologis

Pihak Terkait lain, Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon dalam persidangan mengomentari dalih para pemohon bahwa pemilu berbiaya mahal menyebabkan anggota dewan yang terpilih melakukan korupsi. Menurutnya, soal perilaku koruptif elit politik itu tidak ada kaitannya dengan sistem pemilu proporsional terbuka. “Mau sistem apapun untuk pemilu baik terbuka atau tertutup, tetap terbukanya politik uang itu,” kata Jansen.

Jansen menjelaskan terkait money politics sudah ada ancaman pidananya. Caleg bisa digugurkan jika terbukti menggunakan uang untuk mendapatkan suara. Dalil para pemohon yang menganggap sistem proporsional terbuka sebagai pemborosan anggaran negara, bagi Jansen hal ini menunjukkan para pemohon tidak memahami bahwa demokrasi memang berbiaya mahal untuk mendapatkan perwakilan yang akuntabel dan demokratis.

“Ada tanggung jawab anggota dewan kepada pemilihnya, anggota dewan akan selalu merawat daerah pemilihannya, Jika tidak, dia tidak akan dipilih kembali. Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang menyebabkan tidak ada hubungan psikologis antara anggota dewan dengan pemilihnya.”

Jansen berharap, ke depan Indonesia dapat menggunakan sistem distrik seperti yang dianut negara lain. “Jadi dapil itu kecil sekali hanya satu dapil dengan alokasi satu kursi,” terangnya.

Seperti diketahui, perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini dimohonkan 6 pemohon 2 diantaranya kader partai politik. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Para pemohon menilai Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait penerapan sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Norma-norma pasal tersebut berkenaan dengan sistem pemilu proporsional terbuka berbasis penentuan suara terbanyak itu dinilai yang dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur dan tidak memiliki pengalaman mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Sistem proporsional terbuka menjadikan pemilu berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah multikompleks; menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan. Apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili diri sendiri. Seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai. Sistem proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Padahal, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini berbiaya tinggi atau mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Dalam salah satu petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan kata “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait