Perlukah Indonesia Memperjuangkan Kepentingan atas Orbit Geostasioner?
Kolom

Perlukah Indonesia Memperjuangkan Kepentingan atas Orbit Geostasioner?

Perjuangan Indonesia melalui forum UNCOPUOS layak terus didukung, terutama pada masa transformasi di mana LAPAN kini terserap dalam BRIN.

Kolase Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Yaries Mahardika Putro (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Yaries Mahardika Putro (kanan). Foto: Istimewa

Orbit Geostasioner (Geostationary Orbit atau GSO) merupakan satu orbit yang dapat digunakan sebagai lintasan operasi satelit selain orbit bumi rendah (Low Earth Orbit atau LEO), orbit bumi menengah (Medium Earth Orbit atau MEO), hingga orbit sangat elips (Highly Elliptical Orbit atau HEO). Di antara keempat orbit, GSO memiliki perbedaan dan karakteristik unik.

GSO terletak pada ketinggian 35.871 kilometer serta tepat di atas ekuator Bumi. Keunikan ini menjadikan satelit yang berada di GSO seolah diam karena perioda orbit satelit mengelilingi Bumi sama dengan perioda rotasi Bumi. Hal ini memberikan keuntungan bagi penyedia layanan satelit yang menempatkan satelitnya di GSO dikarenakan akan menghemat biaya operasional serta memberikan tingkat akurasi yang tinggi sehubungan data transferring dari satelit ke Stasiun Bumi (ground station). Pada umumnya fungsi satelit yang mengorbit di GSO ialah untuk kepentingan telekomunikasi dan cuaca.

Letak GSO yang berada tepat di atas ekuator Bumi tentunya akan memberikan manfaat dan keuntungan tersendiri bagi negara-negara yang berada di bawah garis khatulistiwa seperti Brazil, Ekuador, Indonesia, Kenya, Kolumbia, Kongo, Uganda dan Zaire. Hal ini mendorong negara-negara tersebut bernegosiasi satu sama lain agar mendapatkan hak spesial (special rights) dalam penggunaan GSO berupa hak berdaulat (sovereign rights).

Baca juga:

Hasil negosiasi sekitar lima dekade lampau adalah terbentuknya instrumen hukum tidak mengikat (non-binding legal instrument) sebagaimana dikenal dengan Deklarasi Bogota 1976. Tujuan utama dibentuknya Deklarasi ialah memberikan hak berdaulat (soveriegn rights) dengan suatu kekhususan kepada negara khatulistiwa dalam penggunaan GSO.

Berdasarkan Deklarasi ini, negara-negara khatulistiwa mengklaim hak berdaulat terhadap GSO yang merupakan sumber daya alam – turut mengacu kepada frekuensi -- bersifat terbatas. Dasar atas klaim tersebut merujuk kepada Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 2692 (XXV) tahun 1970 tentang “permanent sovereignty over the natural resources of developing countries and expansion of internal accumulation sources for economic developments” sebagaimana menyatakan “the right of the peoples and of nations to permanent sovereignty over their wealth and natural resources that must be exercised in the interest of their national development and of the welfare of the people of the nation concerned”.

Hal ini menjadi suatu polemik di mana Pasal 2 the Outer Space Treaty 1967 menetapkan larangan kepemilikan nasional di antariksa dalam bentuk apapun termasuk klaim kedaulatan. Pasal 4 the Outer Space Treaty 1967 kemudian secara tegas menyatakan bahwasannya antariksa sebagai wilayah bagi seluruh umat manusia (province of all mankind).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait