Perlukah Lebih Banyak Sarjana Hukum di Kursi Anggota DPR RI?
Terbaru

Perlukah Lebih Banyak Sarjana Hukum di Kursi Anggota DPR RI?

Meski latar belakang pendidikan hukum akan memudahkan anggota DPR menjalankan fungsi legislasi, Namun, yang krusial adalah DPR diisi orang-orang yang mau dan mampu menjalankan amanah rakyat. Bukan mereka yang hanya memuaskan hasrat kekuasaan.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ratusan Anggota DPR saat rapat paripurna. Foto: RES
Ratusan Anggota DPR saat rapat paripurna. Foto: RES

Semakin banyak undang-undang yang mendapat respons negatif dari masyarakat. Mulai dari pengesahan revisi UU KPK tahun 2019, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hingga UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang diwarnai penolakan masif lewat unjuk rasa jalanan hingga persidangan uji konsitusional.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengakui fenomena itu sebagai fakta yang jelas dan nyata. Namun, Titi tidak yakin apakah fenomena buruk itu ada kaitannya dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang berpendidkan sarjana hukum atau pascasarjana hukum.

“Saya belum pernah mengetahui ada riset yang menjelaskan keterkaitan anggota parlemen berpendidikan hukum dengan kinerja parlemen. Itu menarik untuk kita teliti, tapi saya kira masalah DPR bukan itu,” kata anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini kepada Hukumonline, Selasa (21/6/2022). Penelusuran Hukumonline mencatat setidaknya ada 89 lulusan hukum atau setara 15% dari total 575 anggota DPR RI Periode 2019-2024.  

Hukumonline mengolah data dari portal resmi DPR RI dan pengecekan ulang ke portal fraksi DPR terkait, sebanyak 79 anggota DPR mencantumkan gelar sarjana hukum pada profil resmi. Selain itu, masih ada 10 anggota DPR yang bukan sarjana hukum, namun mencantumkan gelar pascasarjana magister hukum. Bahkan, ada 11 orang diantara 89 lulusan hukum itu yang bergelar doktor hukum.

Kampus hukum almamater para anggota DPR itu mulai dari kampus negeri dan swasta ternama hingga kampus luar negeri. Setidaknya ada 7 orang yang memiliki gelar magister hukum LL.M. dari luar negeri.

Gita Putri Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berpendapat yang sama dengan Titi. “Kerja DPR sudah dibantu banyak tenaga ahli hukum dan perancang undang-undang di alat kelengkapan lembaganya. Mereka sudah semakin terlatih soal teknis dan teori. Justru masalahnya soal kemampuan anggota DPR membawa aspirasi pemilihnya,” kata Peneliti yang juga Dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini.

Gita mencatat banyak forum reses anggota DPR saat berkunjung ke daerah pemilihan tidak jelas dampaknya. “Saya tidak bilang semua anggota DPR buruk dalam menyerap aspirasi di masa reses. Tetapi sebagian besar memang tidak jelas laporan hasil kunjungan untuk menyerap aspirasi pemilih di masa reses misalnya,” kata Gita.

Baik Gita maupun Titi sepakat bahwa DPR harus diisi banyak wakil rakyat dengan beragam latar belakang kompetensi. Oleh karena itu, meski DPR berperan membuat hukum tidak berarti hanya lulusan hukum yang layak menjadi anggotanya. “Satu hal yang penting adalah anggota DPR bisa membawa suara konstituen, menjembatani kebutuhan konstituen dengan temuan lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah saat membentuk hukum,” kata Gita.

Titi mengakui latar belakang pendidikan hukum memang akan memudahkan anggota DPR menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan lain-lain. Ia mengutip kiasan bahwa hukum dan politik sangat lekat ibarat otot dan daging. “Namun, yang krusial adalah DPR diisi orang-orang yang mau dan mampu menjalankan amanah rakyat. Bukan mereka yang hanya memuaskan hasrat kekuasaan. Banyak yang sudah punya uang dan popularitas berlebih lalu mencari eksistensi dari kekuasaan. Bukan itu yang kita butuhkan,” kata Titi.

Tags:

Berita Terkait