Perlunya Pembatasan PK dalam RUU Hukum Acara Perdata
Terbaru

Perlunya Pembatasan PK dalam RUU Hukum Acara Perdata

Agar ada jaminan kepastian hukum sekaligus melaksanakan amanat putusan MK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Praktik upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) dalam hukum acara perdata perlu pengaturan lebih detil dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata. Karenanya dalam perumusan dan pembahasan antara DPR dan pemerintah perlu mendapat perhatian secara serius demi kepastian hukum. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus persoalan tersebut dengan membatasi PK dalam perkara perdata hanya dapat dilakukan satu kali.

Dekan Fakultas Hukum Univesitas Pembangunan Nasional (FH UPN) Veteran Jakarta, Abdul Halim berpandangan pengaturan PK dalam perkara perdata semestinya dibatasi maksimal satu kali dalam RUU Hukum Acara Perdata. Sebab pembatasan tersebut selain dalam rangka memberikan kepastian hukum juga melaksanakan amanat putusan MK Nomor 16/PUU-VIII/2010.

“Pembatasan peninjauan kembali (PK) memiliki aspek jaminan kepastian hukum, MK juga telah memutus soal tersebut. Namanya PK sebagai upaya hukum terakhir. Jangan ada upaya hukum terakhir diatas upaya hukum terakhir,” ujar Abdul Halim dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Dia menerangkan putusan MK Nomor 16/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Desember 2010 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman secara tegas membatasi PK di luar perkara pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, MK beralasan saat PK diajukan lebih dari satu kali bakal berdampak terhadap perkara yang tidak berkesudahan.

Baca Juga:

MK berpendapat bila PK dilakukan lebih dari satu kali, maka bertentangan dengan asas litis finiri oportet, setiap perkara haruslah ada akhirnya. Selain itu, PK yang diajukan lebih dari satu kali bisa merugikan pihak yang mencari keadilan.

Wakil Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Wilayah Barat itu melanjutkan perubahan hukum acara melalui RUU Hukum Acara Perdata menjadi momentum yang tepat. Khususnya dalam menyempurnakan norma hukum acara perdata peninggalan kolonial Belanda. “Kami berharap RUU Hukum Acara Perdata  ini dapat disahkan di Tahun 2022 ini,” ujarnya.

Ia menegaskan setiap produk hukum baru dalam bentuk UU haruslah mencerminkan kepastian hukum yang berkeadilan. Tak hanya itu, hakim mutlak memiliki independensi yang tinggi tanpa bisa diintervensi pihak manapun lain dalam mewujudkan keadilan substantif dan prosedural.

Dia melihat pembahasan RUU Hukum Acara Perdata yang sedang dibahas Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR, terdapat daftar inventarisasi masalah (DIM). Halim merinci terdapat 930 DIM bersifat tetap, 172 bersifat redaksional, 137 bersifat substansi, dan 83 bersifat substansi baru. Pembahasan RUU Hukum Acara Perdata amat diperlukan peran partisipasi masyarakat secara bermakna. “Keterlibatan akademisi, tokoh, dan asosiasi seperti Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (Adhaper), dan lainnya sangat diperlukan,” imbuhnya.

Terpisah, Vice Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Indra Sahnun Lubis (ISL), Djamaludin Koedoeboen berpandangan dari aspek praktik di lapangan, pengalaman membuktikan pengajukan PK lebih dari satu kali di perkara perdata nyaris tak ada batasnya yang berujung menimbulkan kerancuan.

Karenanya, pembentuk UU perlu membuat batasan pengajuan PK hanya diperbolehkan satu kali. Tapi ada pengecualian diperbolehkan dua kali sepanjang adanya kejanggalan. Misalnya, ada dugaan kasus suap antara pihak berperkara dengan majelis hakim, maka PK dapat diajukan dua kali. “Kalau tidak, berdalil novum yang kadang akal-akalan juga. Sehingga karena sudah inkracht, kemudian dimentahkan dari PK,” katanya.

Tags:

Berita Terkait