Permasalahan Nama atau Bagian Nama dari Badan Hukum yang Belum Terdaftar Sebagai Merek
Kolom

Permasalahan Nama atau Bagian Nama dari Badan Hukum yang Belum Terdaftar Sebagai Merek

UU Merek sebelum UU 15/2001 memberikan perlindungan hukum yang jauh lebih baik terhadap nama badan hukum yang belum terdaftar sebagai merek apabila didaftarkan oleh pihak lain sebagai merek.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi
Pendahuluan
Persaingan usaha idealnya dilakukan secara sehat, namun dalam kenyataan ada kalanya terdapat pihak-pihak yang melakukan persaingan tidak sehat. Salah satunya adalah dengan mendaftarkan nama atau bagian nama dari suatu badan hukum pihak lain sebagai merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) dengan tujuan untuk mendompleng ketenaran dari nama badan hukum tersebut. Umumnya yang menjadi objek pendaftaran adalah merupakan bagian nama atau nama suatu badan hukum yang merupakan produsen dari suatu produk barang yang terkenal atau cukup populer di masyarakat (khususnya yang berupa consumer good products).

Dengan beredarnya produk dengan bagian nama atau nama dari suatu badan hukum tersebut akan menyebabkan masyarakat umum dapat mengira bahwa produk tersebut adalah dihasilkan dari afiliasi ataupun grup dari badan hukum yang namanya digunakan tersebut. Terlebih di Indonesia, para pengusaha belum terbiasa untuk mendaftarkan bagian nama atau nama badan hukumnya sebagai merek sebagai antisipasi digunakannya nama tersebut sebagai merek oleh pihak lain untuk barang di kelas yang sama dimana badan hukum tersebut mengeluarkan produknya. Sementara ini, yang umum dilakukan oleh badan hukum adalah mendaftarkan nama produk-produk yang dihasilkan olehnya sebagai merek.

Pernah terjadi dalam praktik, pendaftaran bagian dari nama suatu badan hukum yang merupakan produsen consumer good products yang cukup terkenal sebagai suatu merek pada kelas yang sama dengan barang-barang yang diproduksi oleh badan hukum yang cukup terkenal tersebut. Hal mana setidaknya akan mengecoh masyarakat umum akan asal usul suatu barang dan akan menganggap bahwa produk tersebut adalah diproduksi oleh badan hukum yang produknya sudah dikenal masyarakat.

Contohnya, perkara GS Yuasa Corporation melawan PT Parahyangan Putra Pribumi (Perkara No. 020/PK/Pdt.Sus/2007, dimana bagian nama perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum negara Jepang yaitu ‘GS’ telah didaftarkan oleh GS Yuasa Corporation sebagai merek untuk produk berupa aki (accu) di Jepang dan berbagai negara termasuk Indonesia. Sementara, pihak tergugat yakni PT Parahyangan Putra Pribumi telah mendaftarkan merek ‘GS Goldstar’ pada Ditjen HKI.

Meskipun pada Putusan PK tersebut merek ‘GS Goldstar’ milik tergugat akhirnya dibatalkan pendaftarannya namun perlu dicatat bahwa salah satu petitum dalam putusan tersebut adalah menyatakan bahwa merek GS milik penggugat adalah merek terkenal dan dalam pertimbangan majelis hakim Peninjauan Kembali tersebut tidak menggunakan ketentuan mengenai nama badan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (3a) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek).

Dalam tulisan ini, Penulis mencoba menelaah mengenai apakah ketentuan dalam UU Merek telah memberikan perlindungan hukum yang cukup atas nama atau bagian nama dari suatu badan hukum yang belum terdaftar sebagai merek atau belum?

UU Merek di Indonesia
UU Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merekmenganut asas deklaratif dan tidak mengatur mengenai alasan penolakan pendaftaran merek yang merupakan nama suatu badan hukum yang dimiliki oleh pihak lain yang didaftarkan oleh bukan pemilik nama badan hukum tersebut. Namun, UU 21/1961 telah mengatur mengenai prosedur pembatalan suatu merek yang mengandung nama atau nama perniagaan pihak lain (Pasal 10 ayat 1).

Materi UU 21/1961 dapat dikatakan sudah cukup maju, karena pihak yang merasa dirugikan yang digunakan namanya atau nama perniagaannya tidak dipersyaratkan untuk memiliki pendaftaran merek dengan nama atau nama perniagaan yang sama untuk dapat mengajukan upaya hukum gugatan pembatalan melalui pengadilan negeri di Jakarta dalam tenggang waktu enam bulan setelah pengumuman (Pasal 8). Bahkan setelah tenggang waktu tersebut pihak yang berkepentingan pun masih tetap dapat mengajukan gugatan pembatalan apabila hak pemohon terbukti dari suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 10 ayat 2).

UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, mengatur bahwa pemeriksa merek akan menolak permohonan pendaftaran merek yang merupakan atau menyerupai nama badan hukum yang dimiliki orang lain yang sudah terkenal kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak (Pasal 6 ayat 2 huruf a). Dalam bagian penjelasan pasal, disebutkan bahwa kriteria penentuan suatu merek atau nama terkenal dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek atau nama tersebut di bidang usaha yang bersangkutan.

UU 19/1992 tidak mempersyaratkan bahwa perlindungan nama badan hukum diberikan apabila nama badan hukum tersebut telah terdaftar sebagai merek, namun cukup dengan memenuhi kriteria terkenal sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf a. Namun demikian, persyaratan bahwa suatu nama badan hukum harus terkenal memberikan kendala bagi suatu perusahaan yang nama produknya lebih dikenal dibandingkan dengan nama badan hukumnya sendiri.

UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, mengatur bahwa pemeriksa merek akan menolak permohonan pendaftaran merek yang merupakan atau menyerupai nama badan hukum yang dimiliki orang lain kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak (Pasal 6 ayat 2 huruf a). UU 14/1997 lebih maju daripada UU 19/1992, karena pemeriksa merek dapat menolak permohonan pendaftaran nama suatu badan hukum yang didaftarkan oleh pihak lain tanpa mendasarkan bahwa nama badan hukum tersebut terkenal atau tidak.

UU 15/2001
Pasal 6 ayat (3a) UU 15/2001 menyatakan bahwa permohonan pendaftaran merek yang merupakan atau menyerupai nama badan hukum yang dimiliki oleh orang lain harus ditolak oleh Ditjen HKI kecuali telah mendapatkan persetujuan tertulis dari pihak yang berhak. Penjelasan pasal menyatakan bahwa yang dimaksud dengan badan hukum adalah nama badan hukum yang digunakan sebagai merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek.

Dari ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan UU 15/2001 secara tidak langsung mengakui bahwa hanya nama badan hukum yang telah terdaftar sebagai merek sajalah yang dilindungi dan akan menjadi dasar penolakan oleh pemeriksa merek dalam tahapan pemeriksaan substantif. Apabila nama badan hukum tersebut tidak terdaftar sebagai merek maka tidak ada dasar bagi pemeriksa merek untuk menolak permohonan pendaftaran merek tersebut.

Ketentuan Pasal 6 ayat (3a) dapat menimbulkan permasalahan hukum bagi pihak pemilik badan hukum yang nama atau bagian nama badan hukumnya didaftarkan sebagai merek oleh pihak yang beriktikad tidak baik. Dalam kondisi tersebut maka badan hukum tersebut haruslah mengajukan gugatan pembatalan merek berdasarkan Pasal 4 UU 15/2001 dan harus membuktikan adanya iktikad tidak baik dalam pendaftaran suatu merek.

Menurut Penulis, UU Merek sebelum UU 15/2001 memberikan perlindungan hukum yang jauh lebih baik terhadap nama badan hukum yang belum terdaftar sebagai merek apabila didaftarkan oleh pihak lain sebagai merek. Selain itu, tidak dipersyaratkan pula telah memiliki sertifikat merek terdaftar terlebih dahulu atas nama badan hukum tersebut untuk mendapatkan perlindungan dalam UU Merek atau menjadi alasan penolak pendaftaran merek.

Nama Badan Hukum sebagai Merek
Salah satu contoh faktual mengenai pendaftaran nama badan hukum sebagai merek untuk produk/barang/jasa yang namanyasamadengan merek yang ‘sudah terkenal’milik pihak lain dengan terlebih dahulu mendirikan badan hukum yang menggunakan bagian darinamamerek yang ‘sudah terkenal’ yaitu perkara White Horse Ceramic (Kompas, 22 Juni 2011).

White Horse Ceramic Co.Ltd, Taiwan adalah produsen keramik, pemilik merek terdaftar ‘White Horse Ceramic’ untuk kelas 19 yang terdaftar di DitjenHKI dengan Nomor 422866 joNomor 535170 yang telah memasarkan produknya di Indonesia sejak tahun 1991.

PT White Horse Ceramic Indonesia telah memproduksi, memasarkan, mengedarkan, menjual produk ceramic sejenis/serupa dengan produk White Horse Ceramic Co. Ltd, Taiwan, padahal sama sekali tidak terdapat hubungan apapun antara White Horse Ceramic Co. Ltd, Taiwan dengan PT White Horse Ceramic Indonesia.

Kesimpulan
UU 15/2001 tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi badan hukum yang namanya atau bagian namanya belum terdaftar sebagai merek apabila terdapat pihak lain selaku pemilik merek terdaftar yang menggunakan nama atau bagian nama badan hukum tanpa adanya izin tertulis dari badan hukum tersebut. UU 15/2001 tidak memberikan hak ataupun kewenangan bagi pemeriksa merek untuk menolak pendaftaran merek nama ataupun bagian dari nama badan hukum yang bukan dimiliki oleh pemohon pendaftaran merek ataupun pihak pemohon pendaftaran merekyangdiberikan hak oleh pemilik badan hukum untuk mendaftarkannya, kecuali apabila nama badan hukum tersebut telah terdaftar sebagai merek.

Berbeda dengan UU Merek sebelumnya, yaitu UU 19/1992 dan UU 14/1997 yang memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pemilik badan hukum yang namanya belum terdaftar sebagai merek. Untuk itu,Penulis berpendapat sudah sepatutnya dilakukan revisi atas ketentuan Pasal 6 ayat (3) a UU 15/2001 berikut dengan penjelasannya, guna memberikan perlindungan kepada pemilik badan hukum dan memperluas pengertian nama badan hukum juga mencakup bagian dari nama badan hukum tanpa perlu mempersyaratkan bahwa pemilik badan hukum harus mendaftarkan nama badan hukum sebagai merek terdaftar terlebih dahulu pada Dirjen HKI.

Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM dapat juga membuat suatu sistem agar Ditjen HKI mempunyai akses atas data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), demikian pula sebaliknya. Dengan begitu, ketika terdapat permohonan pendaftaran merek yang menggunakan bagian dari nama badan hukum pihak pemeriksa merek dapat mengetahuinya dan demikian pula dengan permohonan nama badan hukum yang menyerupai merek terkenal pihak Ditjen AHU dapat mengetahuinya. Tentunya, harus dilakukan kajian lebih lanjut mengenai hal tersebut guna diperolehnya perlindungan hukum yang optimal bagi pemilik nama badan hukum dan juga pemilik merek terkenal.

Meskipun sebelumnya telah terdapat PP Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas, dimana Pasal 5 ayat 1 huruf e menyatakan Menteri Kehakiman akan menolak permohonan persetujuan nama Perseroan Terbatas yang menggunakan nama yang sama atau mirip dengan merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam UU 19/1992 berikut perubahannya, kecuali atas izin dari pemilik merek terkenal tersebut. Meskipun PP 26/1998 belum sempurna, namun hal tersebut telah menunjukkan adanya perhatian dari Kementerian Kehakiman (saat ini Kementerian Hukum dan HAM) mengenai akan masalah nama badan hukum dan juga merek. Namun, sangat disayangkan bahwa pengganti dari PP 26/1998 yaitu PP Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas telah meniadakan larangan pemohon persetujuan nama Perseroan Terbatas yang menggunakan nama yang sama atau mirip dengan merek terkenal.

* Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Tags:

Berita Terkait