Permen Produksi Hasil Tembakau Dinilai Simpangi Faktor Kesehatan
Berita

Permen Produksi Hasil Tembakau Dinilai Simpangi Faktor Kesehatan

Upaya pembangunan industri tembakau dalam peraturan ini hanya dilihat dari aspek kapitalisasi saja.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
ilustrasi rokok. Foto: Sgp
ilustrasi rokok. Foto: Sgp

Ketua Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok, Kartono Muhammad, mengatakan Peraturan Menteri Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau 2015-2020 tidak mempertimbangkan faktor kesehatan.

"Padahal rokok adalah produk yang dapat mengakibatkan kesakitan, kematian, dan kemiskinan yang berkelanjutan," kata Kartono dalam konferensi pers terkait desakan agar Menteri Perindustrian mencabut Peraturan Menteri Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 di Jakarta, Selasa (5/1).

Menurutnya, peningkatan produksi rokok ini akan berdampak pada meningkatnya jumlah perokok, tidak hanya perokok dewasa tetapi juga perokok pemula, yaitu anak-anak dan remaja. Ia menilai, upaya pembangunan industri hasil tembakau dalam peraturan ini hanya dilihat dari aspek kapitalisasi saja tanpa melihat aspek keberlanjutan dan dampak yang ditimbulkan dari industri hasil tembakau tersebut.

"Sementara produk rokok Indonesia sudah ditolak banyak negara, lalu siapa yang akan dipaksa menghabiskan miliaran batang itu kalau bukan rakyat Indonesia, ini kah cita-cita Menperin kita? Meracuni bangsa sendiri," ucap Kartono.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (Raya) Indonesia, Hery Chariansyah, meminta agar Menteri Perindustrian Saleh Husin segera mencabut peraturan tersebut. "Desakan ini sebagaimana yang dicantumkan dalam surat somasi yang telah dikirimkan kepada Menteri Perindustrian pada 4 Januari 2016 pukul 15.00 WIB," katanya.

Menurut Hery, peraturan tersebut akan menghambat upaya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. "Padahal, untuk menyongsong bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2020 seharusnya pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya strategis dan efektif terhadap pembangunan SDM yang ada dan akan datang," tuturnya.

Ia mengatakan, terdapat beberapa hal yang menjadi masalah dan penting disorot di dalam peraturan tersebut. Pertama, peraturan itu meniadakan elemen pertimbangan kesehatan. Kedua, peraturan itu terus mendorong produksi jumlah batang produksi rokok sebanyak 5-7 persen pertahun menjadi 524,2 miliar batang pada 2020.

Ketiga, peningkatan produksi rokok yang paling besar pada peraturan ini adalah pada rokok yang bahan bakunya menggunakan tembakau impor dan produksinya menggunakan mesin. Keempat, peraturan tersebut menyatakan rokok kretek adalah warisan budaya bangsa.

"Wapres Jusuf Kalla dan Mendikbud Anies Baswedan pun telah menyampaikan kepada publik tentang ketidaksetujuan kretek sebagai warisan budaya bangsa," kata Hery.

Selain itu, lanjut Hery, Komisi X DPR RI juga telah menghapuskan pasal kretek sebagai warisan budaya bangsa Indonesia di dalam RUU tentang Kebudayaan."Demi kepentingan terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia, kami mendesak Menperin mencabut peraturan menteri tersebut karena peraturan itu dapat dianggap sebagai perbuatan semena-mena dan tidak berpihak terhadap pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia," katanya.

Selain Raya Indonesia, beberapa organisasi masyarakat sipil yang mendesak pencabutan peraturan menteri perindustrian itu antara lain Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Tobacco Control Support Centre (TCSC), Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), FAKTA, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), International Institute for Sustainable Development (IISD), KRB, SAPTA, SFJ, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Tags:

Berita Terkait