Permudah Izin dan Investasi, Menkominfo Pertimbangkan Revisi Aturan Penyiaran
Berita

Permudah Izin dan Investasi, Menkominfo Pertimbangkan Revisi Aturan Penyiaran

Kemenkominfo tengah melakukan kajian soal mempermudah perizinan penyiaran. Hal itu tentu membutuhkan kajian dan landasan hukum yang disepakati Pemerintah dan DPR.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit

 

Revisi UU Penyiaran

Mengenai Revisi atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Rudiantara menegaskan perhatian pemerintah bukan semata pada aspek teknis multipleksing, tapi concern pemerintah adalah dampak lanjutan dari penataan penyiaran di Indonesia.

 

(Baca Juga: Pembahasan Lamban, Pengesahan RUU Penyiaran Bakal Dikebut)

 

Mengutip hasil kajian, kata Rudiantara, ada peluang 100 ribu aktivitas bisnis, ada potensi penambahan 230 ribu lapangan pekerjaan jika kebijakan Analog Switch Off (ASO) dalam dunia penyiaran dilakukan pada tahun 2020.  Ini present value yang bisa didapat Indonesia sekira Rp 5,5 T bahkan ada Rp70 triliun PNPB ke pemerintah. Belum lagi future value dalam 7 tahun ke depan bisa mencapai USD 39,9 miliar kontribusi ke GDP Indonesia.

 

Bahkan Rudiantara mengakui didesak negara tetangga untuk segera menyelesaikan ASO. "Malaysia dan Filipina meminta segera Indonesia bergerak, karena mereka tidak bisa melakukan ASO kalau Indonesia belum," ungkapnya.

 

Rudiantara menegaskan saat ini pemerintah selalu berupaya mengedepankan kebijakan afirmatif. "Sesuai Nawa Cita Presiden dan Wakil Presiden saat ini kita membangun dari pinggiran. Kominfo itu punya affirmative policy, bagaimana membangun lembaga penyiaran yang ada di kawasan perbatasan," ujarnya.

 

(Baca Juga: Akademisi Kritik RUU Penyiaran Versi Baleg DPR)

 

Keberpihakan itu, dalam pandangan Menteri Rudiantara layak dipertimbangkan sebagai isu yang diangkat dalam Revisi UU Penyiaran. "Saya mengusulkan agar ada model USO (Universal Service Obligation). Kalau penyiaran yang konsep dibicarakan, adanya USO untuk mendukung daerah pinggiran. Kalau tidak siapa yang mau bangun? Nanti itu kita masukkan dalam revisi UU Penyiaran termasuk status KPI dan KPID," katanya.

 

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie yang hadir dalam acara tersebut menilai revisi atas UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah layak untuk dilakukan. "Itu sudah enam belas tahun, UU 32/2002 lahirnya penuh dengan kontroversi. Ini merupakan salah satu UU yang tidak diteken oleh Presiden waktu itu. Salah satu kelemahan UU itu adalah penyebutan aturan soal Peraturan Pemerintah yang menyertakan KPI sebagai lembaga independen," katanya.

 

Jimly menilai ada tiga hal yang perlu dikendalikan negara yaitu pasar, politik dan media. Menurutnya, ketiga hal itu sudah bergerak ke arah pasar bebas. Oleh karena itu, perlu dikendalikan. “Makanya di pasar atau bisnis ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), di politik ada Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu, sementara kalau media ya KPI ini," jelasnya.

 

Dalam pandangan Jimly, jika melihat kepentingan jangka panjang, keberadaan keempat kuasi pengatur itu harus diperkuat dan mesti setara. “Kalau punya fungsi regulatory ya harus diatur, atau fungsi kuasi ajudikasi agar pemerintah tidak perlu bikin repot. Koordinasinya (KPI) dengan pemerintah, mereka independen utuk mengontrol industri," pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait