Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi
Utama

Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi

Diminta untuk direvisi karena banyak ketentuan yang kontraproduktif terhadap kelancaran masuknya investasi, melahirkan ketidakpastian baru hingga berdampak pada hilangnya momentum bisnis.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline menggelar diskusi bertema “Implikasi Perpres tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial” di Jakata, Selasa (19/11). Foto: RES
Hukumonline menggelar diskusi bertema “Implikasi Perpres tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial” di Jakata, Selasa (19/11). Foto: RES

Masih segar dalam ingatan, kealpaan Nine AM Ltd yang hanya menggunakan kontrak berbahasa Inggris dalam Loan Agreement berbuntut dibatalkannya kontrak tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam Putusan No. 450/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar. Putusan itu bahkan dikuatkan di tingkat banding (Putusan No. 662/Pdt.G/2014/PT.DKI) hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi No. 1572 K/Pdt/2015. Pertimbangannya, ketidakpatuhan Nine AM Ltd atas kewajiban pembuatan kontrak dalam bahasa Indonesia (Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009) sama halnya dengan tidak memenuhi syarat sah perjanjian mengenai ‘kausa halal’ pada Pasal 1320 KUHPer.

 

Kini, sejak lahirnya Perpres 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, pengaturan kewajiban bahasa Indonesia dalam kontrak komersil semakin diperuncing, bahkan merambah hingga komunikasi resmi yang dilakukan pihak swasta. Misalnya saja, Pasal 26 Perpres 63/2019 yang mengatur setiap Nota Kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan pihak swasta atau perseorangan warga negara Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia terlebih dahulu. Baru selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa asing yang berfungsi sebagai ‘padanan atau terjemahan’ dari kontrak berbahasa Indonesia.

 

Sementara, praktik bisnis yang melibatkan investasi asing kerap diawali dengan penandatanganan kontrak versi bahasa Inggris terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan dengan kontrak versi bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, tuntutan investor asing yang ‘serba ingin cepat’ dalam menyamakan paham tentu dilakukan menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami investor terlebih dahulu. Bila tidak demikian, tentu Indonesia akan kehilangan momentum bisnis.

 

Ditambah lagi, kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi di lingkungan swasta (vide; Pasal 28 Perpres 63/2019) jelas sangat menyulitkan proses negosiasi dan komunikasi antar perusahaan yang berpartner dengan investor atau pihak asing. Dengan begitu, hadirnya ketentuan Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 28 dalam Perpres 63/2019 dinilai dunia usaha sebagai ketentuan yang kontraproduktif terhadap kelancaran masuknya investasi dan melahirkan ketidakpastian baru.

 

Guru Besar Hukum Bisnis Internasional, Hikmahanto Juwana, turut mengkritisi Perpres 63/2019. Menurutnya, tak sewajarnya negara melakukan ‘intervensi’ terlalu jauh terhadap kesepakatan yang dibuat oleh pihak swasta maupun perorangan. Idealnya, katanya, batas intervensi yang bisa dilakukan negara hanya sepanjang transaksi tertentu yang melibatkan masyarakat banyak (bersifat kepentingan publik).

 

Bila negara terlalu gegabah, bahayanya Perpres 63/2019 justru dijadikan celah baru bagi pihak nakal yang tidak bisa melaksanakan prestasi/kewajibannya untuk membatalkan kontrak yang telah disepakati. Putusan Kasasi MA dalam Kasus Nine AM bahkan bisa dijadikan rujukan bagi pihak tersebut untuk membatalkan substansi perjanjian. Terlebih saat ini banyak pelaku bisnis masih menggunakan bahasa Inggris dalam pembentukan kontrak awal maupun komunikasi dengan mitra bisnisnya. Efeknya, akan banyak kontrak yang berpotensi dipermasalahkan karena mayoritas dibuat dalam bahasa Inggris terlebih dahulu untuk mempercepat proses bisnis.

 

“Tak bisa lakukan kewajiban, diakali pihak yang nakal dengan mempermasalahkan pembuatan kontrak. Kok kontrak yang dibuat bahasa Inggrisnya dulu? Padahalkan di Perpres dikatakan harus Bahasa Indonesia dulu baru bahasa Inggris, ujungnya minta dibatalkan,” kata Hikmahanto dalam diskusi yang diadakan Hukumonline dengan tema Implikasi Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial, Selasa (19/11).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait