Pemerintah menilai PT Pertamina menjual bahan bakar pesawat, aviation turbine (avtur), dengan harga yang cukup mahal. Pasalnya, selama ini ada selisih sekitar 20% dengan harga internasional. Padahal, avtur merupakan komponen biaya paling besar dari maskapai penerbangan, bisa mencapai setengah dari total biaya operasional.
Oleh karena itu, harga avtur yang tinggi disinyalir menjadi salah satu sebab maskapai domestik memiliki daya saing rendah. Maskapai dalam negeri terpaksa menjual tiket dengan harga yang cukup mahal untuk menutupi beban pembelian avtur. Dengan demikian, jika harga avtur turun maka harga tiket pesawat maskapai domestik pun bisa lebih murah.
Di sisi lain, maskapai internasional dapat menikmati harga avtur yang dijual di luar negeri Pertamina lebih murah. Pertamina memang menjual avtur di berbagai bandara internasional seperti Singapura, Bangkok, Hongkong, Kuala Lumpur, Incheon, Jeddah, Madinah, Penang, Dubai, dan Amsterdam melalui konsep contracting company delivery company (conco delco). Selain itu, Pertamina pun melayani penerbangan ad hoc di Kairo, Tunisia, Majuro, Frankfurt, dan Guam dengan penjualan avtur sesuai pasaran internasional.
Menaggapi permintaan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menurunkan harga avturnya dengan memangkas margin usahanya hanya 5%, Pertamina menyatakan siap. Hanya saja, perusahaan pelat merah itu meminta waktu dalam melakukan efisiensi. Selain itu, Pertamina berharap pemerintah juga memberikan solusi terkait penjualan avtur di daerah terpencil.
"Kasih kami waktu dan kesempatan untuk berusaha melakukan segala daya agar harga avtur bisa turun. Tapi tolong kami juga diberikan solusi untuk pasokan avtur dibandara-bandara kecil,” ujar Vice President (VP) Corporate Communication PT Pertamina Wianda Pusponegoro di Jakarta, Rabu (16/9).
Wianda menjelaskan, perusahaannya harus menanggung rugi dari penjualan avtur di bandara kecil. Ia pun menyebut, tak heran jika tak ada perusahaan swasta termasuk asing yang mau menjual avtur ke bandara kecil karena sudah pasti rugi. Sehingga, menurut Wianda, keuntungan penjualan avtur di bandara besar digunakan untuk menutup kerugian penjualan di banyak bandara kecil hingga pelosok daerah.
Lebih lanjut ia menambahkan, harga jual avtur memuat komponen biaya poduksi untuk pendistribusian avtur ke lokasi yang sulit dijangkau tersebut. Ia menyebut, biaya penganggkutan avtur ke daerah terpencil juga mahal, karena transportasi dan infrastrukturnya terbatas. Menurutnya, selama ini kurang kompetitifnya harga avtur di Indonesia secara umum memang dipengaruhi oleh kondisi geografis Indonesia.
Sementara itu, untuk bandara-bandara besar, harga penjualan avtur menjadi mahal karena ada pajak yang dikenakan oleh PT Angkasa Pura II, selaku pengelola bandara di kawasan Indonesia bagian barat. Selama ini avtur milik Pertamina dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain PPN, AP II juga mengenakan beberapa biaya seperti concession fee dan beberapa sewa peralatan di bandara-bandara yang bersangkutan.
“Karena itu, perseroan saat ini tengah mengkaji dan berkomunikasi dengan AP II untuk menurunkan pajak penjualan di beberapa bandara. Dengan AP II kami sama-sama mencari langkah-langkah seperti apa, komponen-komponen biaya yang lain dan mungkin pajak bisa dikurangin, agar harga ini bisa menjadi lebih kompetitif," ujar Wianda.
Di sisi lain, Rhenald Kasali pengamat ekonomi Universitas Indonesia, menilai Pertamina menjual avtur di dalam negeri lebih mahal karena perusahaan itu melakukan monopoli. Rehenald pun tak yakin jika biaya yang dikenakan AP II dicabut akan mempengaruhi penurunan harga. Menurutnya, AP II hanya menarik biaya sebesar sepuluh persendari harga Rp6.560 per liter.
“Mahalnya harga avtur yang dijual Pertamina di Indonesia karena Pertamina melakukan monopoli. Kalaupun charge AP II untuk avtur dicabut, hal itu tak terlalu banyak berpengaruh terhadap penurunan harga,” tandasnya.
Oleh karena itu, harga avtur yang tinggi disinyalir menjadi salah satu sebab maskapai domestik memiliki daya saing rendah. Maskapai dalam negeri terpaksa menjual tiket dengan harga yang cukup mahal untuk menutupi beban pembelian avtur. Dengan demikian, jika harga avtur turun maka harga tiket pesawat maskapai domestik pun bisa lebih murah.
Di sisi lain, maskapai internasional dapat menikmati harga avtur yang dijual di luar negeri Pertamina lebih murah. Pertamina memang menjual avtur di berbagai bandara internasional seperti Singapura, Bangkok, Hongkong, Kuala Lumpur, Incheon, Jeddah, Madinah, Penang, Dubai, dan Amsterdam melalui konsep contracting company delivery company (conco delco). Selain itu, Pertamina pun melayani penerbangan ad hoc di Kairo, Tunisia, Majuro, Frankfurt, dan Guam dengan penjualan avtur sesuai pasaran internasional.
Menaggapi permintaan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menurunkan harga avturnya dengan memangkas margin usahanya hanya 5%, Pertamina menyatakan siap. Hanya saja, perusahaan pelat merah itu meminta waktu dalam melakukan efisiensi. Selain itu, Pertamina berharap pemerintah juga memberikan solusi terkait penjualan avtur di daerah terpencil.
"Kasih kami waktu dan kesempatan untuk berusaha melakukan segala daya agar harga avtur bisa turun. Tapi tolong kami juga diberikan solusi untuk pasokan avtur dibandara-bandara kecil,” ujar Vice President (VP) Corporate Communication PT Pertamina Wianda Pusponegoro di Jakarta, Rabu (16/9).
Wianda menjelaskan, perusahaannya harus menanggung rugi dari penjualan avtur di bandara kecil. Ia pun menyebut, tak heran jika tak ada perusahaan swasta termasuk asing yang mau menjual avtur ke bandara kecil karena sudah pasti rugi. Sehingga, menurut Wianda, keuntungan penjualan avtur di bandara besar digunakan untuk menutup kerugian penjualan di banyak bandara kecil hingga pelosok daerah.
Lebih lanjut ia menambahkan, harga jual avtur memuat komponen biaya poduksi untuk pendistribusian avtur ke lokasi yang sulit dijangkau tersebut. Ia menyebut, biaya penganggkutan avtur ke daerah terpencil juga mahal, karena transportasi dan infrastrukturnya terbatas. Menurutnya, selama ini kurang kompetitifnya harga avtur di Indonesia secara umum memang dipengaruhi oleh kondisi geografis Indonesia.
Sementara itu, untuk bandara-bandara besar, harga penjualan avtur menjadi mahal karena ada pajak yang dikenakan oleh PT Angkasa Pura II, selaku pengelola bandara di kawasan Indonesia bagian barat. Selama ini avtur milik Pertamina dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain PPN, AP II juga mengenakan beberapa biaya seperti concession fee dan beberapa sewa peralatan di bandara-bandara yang bersangkutan.
“Karena itu, perseroan saat ini tengah mengkaji dan berkomunikasi dengan AP II untuk menurunkan pajak penjualan di beberapa bandara. Dengan AP II kami sama-sama mencari langkah-langkah seperti apa, komponen-komponen biaya yang lain dan mungkin pajak bisa dikurangin, agar harga ini bisa menjadi lebih kompetitif," ujar Wianda.
Di sisi lain, Rhenald Kasali pengamat ekonomi Universitas Indonesia, menilai Pertamina menjual avtur di dalam negeri lebih mahal karena perusahaan itu melakukan monopoli. Rehenald pun tak yakin jika biaya yang dikenakan AP II dicabut akan mempengaruhi penurunan harga. Menurutnya, AP II hanya menarik biaya sebesar sepuluh persendari harga Rp6.560 per liter.
“Mahalnya harga avtur yang dijual Pertamina di Indonesia karena Pertamina melakukan monopoli. Kalaupun charge AP II untuk avtur dicabut, hal itu tak terlalu banyak berpengaruh terhadap penurunan harga,” tandasnya.