Pertemuan G20 Harus Dorong Penguatan Perlindungan Pekerja Migran dan TPPO
Utama

Pertemuan G20 Harus Dorong Penguatan Perlindungan Pekerja Migran dan TPPO

Permasalahan pekerja migran masih terpinggirkan saat Covid-19. Padahal, pekerja migran merupakan kelompok yang paling terdampak akibat pandemi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Acara diskusi bertema Sejauh Mana G20 Memberi Perhatian Kepada Pekerja Migran dan Masalah Perdagangan Manusia pada Rabu (31/8). Foto: MJR
Acara diskusi bertema Sejauh Mana G20 Memberi Perhatian Kepada Pekerja Migran dan Masalah Perdagangan Manusia pada Rabu (31/8). Foto: MJR

Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan forum negara-negara ekonomi besar G20 pada tahun ini. Salah satu persoalan yang disoroti dalam forum tersebut yaitu mengenai perlindungan pekerja migran serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

"Bagaimana isu migrasi ini dibahas sepanjang perjalanan G20. Saya ingat bahwa langkah-langkah perbincangan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan dari perbincangan migrasi G20 itu harus dilanjutkan itu akhir kalimat dari artikel 38," ungkap Executive Migrant Care, Wahyu Susilo dalam acara "Sejauh Mana G20 Memberi Perhatian Kepada Pekerja Migran dan Masalah Perdagangan Manusia" pada Rabu (31/8).

Dalam kasus Indonesia, Wahyu mengungkapkan permasalahan pekerja migran masih terpinggirkan saat Covid-19. Padahal pekerja migran merupakan kelompok yang paling terdampak akibat pandemi karena harus berhenti kerja dan kembali ke Indonesia. Kemudian, dia mengatakan pekerja migran juga kurang mendapat perhatian dalam bantuan sosial saat pandemi.

Baca Juga:

"Saat pemerintah masih mempercayai Covid-19, justru teman-teman pekerja migran di Hongkong, Singapura, Taiwan harus jadi garda depan terkena panik saat pandemi. Selain itu, kebijakannya tidak memadai dalam bantuan sosial, tidak hanya Indonesia tapi juga negara lain," ungkap Wahyu.

"Indonesia, bantuan subsidi upah tidak bisa diakses pekerja migran dan informal, BPJS Ketenagakerjaan juga hampir sama sekali tidak beri jawaban pada pekerja migran di sektor pandemi ini," tambah Wahyu.

Volume remitansi meningkat

Migrant Care memaparkan secara global, dalam dekade pertama abad 21, volume remitansi meningkat 3 kali lipat, dari US$ 132 miliar (di tahun 2000) menjadi US$ 440 miliar (ditahun 2010). Realitas ini berbanding terbalik dengan penurunan bantuan internasional (dalam skema ODA), dan semakin drastis penurunannya saat Amerika dan Eropa mengalami krisis ekonomi berkelanjutan. 

Menurut MDGs Gap Task Force Report 2012: Global Partnership for Development, Making Rhetorc A reality komitmen pendanaan global untuk pencapaian MDGs ternyata tidak melampaui separo dari komitmen yang dijanjikan. Meskipun dalam MDGs, persoalan migrasi yang disebut dalam deklarasi secara sepintas, namun dalam kajian IOM mengenai Migrasi dan MDGs ditemukan bahwa peran remitansi menjadi sangat penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait