Pertimbangan Hakim Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan dalam Putusan
Kolom

Pertimbangan Hakim Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan dalam Putusan

Satu hal yang juga penting untuk dipahami perihal persepsi hakim tentang hal meringankan atau memberatkan adalah pengaruh kenyataan bahwa ada bagian yang hilang dalam keseluruhan proses.

Pertimbangan Hakim Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan dalam Putusan
Hukumonline

Beberapa penulis telah mencermati pertimbangan hakim ketika menetapkan apa yang menjadi hal-hal yang memberatkan atau sebaliknya menjadi faktor pengurang pidana (hal-hal yang meringankan). Tetapi, bagaimana sesungguhnya proses penalaran hukum dilakukan hakim tidak mungkin diketahui terpidana maupun keluarga korban, apalagi masyarakat umum.

Namun demikian, rasanya kita semua sepakat bahwa masyarakat pencari keadilan berkepentingan untuk memahami korelasi antara tindak pidana yang dilakukan, termasuk tingkat ketercelaan dari perbuatan tersebut dengan reaksi hukum atas perbuatan itu yang kemudian dituangkan dalam putusan pemidanaan. Alasan yang digunakan dalam menentukan berat ringannya pidana tentu harus logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini bukan hanya soal perhitungan kesepadanan (setimpal atau tidaknya perbuatan dan derajat kesalahan terpidana dengan pidana yang dijatuhkan), namun lebih daripada itu merupakan pesan yang dikomunikasikan hakim melalui putusan dan pertimbangannya pada publik.

Tulisan di bawah ini mencoba mengurai problematika hukum yang muncul dari pemaknaan hal-hal yang meringankan dan atau memberatkan dalam praktik peradilan Indonesia. Praktik ini akan diperbandingkan dengan teori dalam ilmu hukum pidana terkait keadaan yang meringankan dan memberatkan. Diharapkan setidaknya dengan itu kita dapat mengidentifikasi perspektif apa yang digunakan hakim ketika mempertimbangkan hal-hal yang memperingan atau memperberat hukuman serta mengungkap bagian yang hilang dan dapat diperbaiki.

Apa yang dipertimbangkan sebagai hal-hal yang meringankan atau memberatkan?

Apa yang bisa diketahui dari membaca berita dan sesekali dari putusan-putusan hakim dalam perkara pidana adalah hal-hal yang meringankan atau memberatkan kerap kali dikaitkan dengan sikap atau perilaku terdakwa dihadapan hakim selama proses persidangan berlangsung.

Maka menjawab pertanyaan secara tidak berbelit-belit, langsung mengakui kesalahan dan menunjukkan penyesalan atau secara umum tidak mempersulit kerja hakim dalam memeriksa dan memutus perkara kerap dikategorikan sebagai hal-hal yang meringankan pidana. Sebaliknya, tidak segera mengakui perbuatan, menjawab pertanyaan dengan berbelit-belit, mungkin termasuk juga bersikukuh menyatakan diri tidak bersalah dan berkorelasi dengan itu pula, tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatan yang didakwakan, akan diperhitungkan sebagai faktor penambah beratnya pidana yang dijatuhkan.

Termasuk pula dalam hal-hal yang meringankan atau memberatkan adalah faktor gender: apakah terdakwa adalah perempuan atau laki-laki. Persoalan usia juga kerap kali menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan: apakah pelaku masih muda atau sudah lanjut usia. Lain dari itu, pekerjaan atau profesi terdakwa sebagai pejabat negara atau penegak hukum misalnya, kadang kala juga turut diperhitungkan sebagai hal meringankan atau memberatkan.

Hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan seperti apakah secara statistik seorang perempuan (ibu), atau mereka yang berusia lanjut, akan cenderung dijatuhi pidana lebih ringan, sementara apabila pelakunya adalah seorang pejabat negara atau penegak hukum pidana yang dijatuhkan akan otomatis lebih berat? Karena memang belum ada standar yang digunakan oleh hakim untuk menentukan keadaan yang memberatkan dan meringankan tersebut, tidak jarang ditemukan dua hal yang kontradiktif ditempatkan ke dalam satu kategori yang sama sebagai hal-hal yang memberatkan atau meringankan.

Sebagai contoh, fakta bahwa terdakwa merupakan pejabat negara misalnya, dianggap sebagai hal-hal yang meringankan mengingat ia telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja pada negara. Namun, di kesempatan lainnya, jabatan tersebut justru ditempatkan sebagai hal yang memberatkan dengan alasan seharusnya abdi negara bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan tindak pidana.

Faktor lain yang ternyata juga muncul sebagai pertimbangan adalah adanya cercaan masyarakat luas sebagaimana muncul dan disuarakan melalui media sosial. Adanya hal ini bisa dipertimbangkan sebagai alasan meringankan atau sebaliknya memberatkan. Secara sosiologis-empiris, peran dan pengaruh masyarakat ini jelas mempengaruhi putusan akhir hakim.

Dari perspektif legal realism yang juga diajarkan almarhum Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, hakim – sekalipun secara yuridis formal mandiri atau otonom – sudah pasti merespon tekanan sosial politik ketika memeriksa, memutus dan menjatuhkan pidana. Kita bisa melihat apa yang terjadi dalam Kasus video asusila Ariel (2010), kasus pembunuhan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik (2011) atau kasus penodaan agama Meliana (2016) dan Basuki Tjahaja Purna (2017) atau yang terakhir kasus korupsi Bansos (2021).

Terlepas dari itu, jelas bahwa terdakwa di hadapan yang mulia hakim setidaknya harus berpakaian rapih atau sopan, tidak menyilangkan kaki dan sebaiknya hanya menjawab jika ditanya serta sesegera mungkin mengakui kesalahan dan menunjukkan penyesalan. Dapat diduga bahwa hal-hal tersebut diperhitungkan sebagai unsur peringan atau pemberat terkait dengan persepsi hakim perihal obstruction of justice, obstruction of the administration of law atau dalam kasus-kasus di atas lebih tepatnya obstruction of judges work in dispensing final judgment in a speedy manner. Tentu ini dengan mempertimbangkan kemungkinan pemahaman berbeda dari konsep-konsep tersebut.

Faktor penyebab

Satu hal yang juga penting untuk dipahami perihal persepsi hakim tentang hal meringankan atau memberatkan adalah pengaruh kenyataan bahwa ada bagian yang hilang dalam keseluruhan proses. Kerapkali dalam pemeriksaan pengadilan tidak lagi dilakukan analisis dan pemahaman tentang hal-hal yang melingkupi atau melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa.

Semua faktor sosial ekonomi dan juga psikologis dari pelaku, termasuk juga relasi pelaku dengan korban, tidak lagi dianggap penting ketika dalam perspektif hukum pidana, suatu peristiwa telah “direduksi” menjadi dugaan tindak pidana dan proses pemeriksaan pengadilan menjadi proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana tersebut. Itu pula sebabnya, bagian lain yang juga hilang dalam proses pemeriksaan di pengadilan adalah analisis mendalam (bukan sekadar penyebutan) terhadap dampak psikologis perbuatan pelaku terhadap korban atau keluarga korban. Selain itu, dalam putusan hakim kerap kali tidak tampak hakim mengukur dampak sosial ekonomi terhadap korban dan masyarakat.

Sebagai collateral damage, hal lain yang kerap kali juga hilang dalam uraian peristiwa pidana adalah gambaran tentang tingkat kekejian atau kekejaman pelaku (grade of malevolence) atau ketidakpedulian (ignorance-carelessness-gross negligence) dari pelaku. Semua itu mungkin diperbincangkan di kalangan terbatas atau diungkap media massa, tapi tidak tercatat berpengaruh terhadap penjatuhan pidana. Bahkan juga ketika unsur memberatkan diungkap dalam konteks tingkat kekejian dan akibatnya, tetap tidak serta merta jelas bagaimana hal itu berkorelasi terhadap putusan akhir. 

Satu ilustrasi adalah pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan No. 791/K/Pid/201 (perkara pembunuhan Ade Sara). Disebut di dalamnya sebagai hal yang memberatkan: menyebabkan putusnya garis keturunan, penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan dan dilakukan secara keji dan tidak berperikemanusiaan. Semua itu disebut dalam satu nafas dan secara kategorikal tidak dibedakan satu sama lain.

Sementara itu dalam kasus Baiq Nuril (2015), hakim mengabaikan fakta Nuril adalah korban dari pelecehan seksual secara verbal dan tindakannya dilakukan sebagai upaya membela diri. Dalam Kasus Saiful Mahdi, (2021), putusan bersalah karena menuliskan kegundahan di whatsapp group (keanggotaan terbatas) dijatuhkan dengan mengabaikan banyak faktor atau unsur yang melingkupi atau melatarbelakangi peristiwa tersebut. Faktor yang bila dipertimbangkan hakim sejatinya menghasilkan putusan bebas atau setidaknya putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Sebaliknya, dalam perkara Pinangki (2021), jaksa (pejabat negara) yang terbukti menerima suap dan membantu buron lepas dari jerat hukum pidana, Majelis Hakim, pada di tingkat banding, justru mempertimbangkan faktor subjektif: menyesali perbuatan, berjanji tidak akan mengulangi perbuatan, dan terutama faktor objetif: gender (perempuan) dan ibu yang memiliki anak balita sebagai hal yang meringankan penjatuhan pidana. Fakta ini dapat dipersandingkan dengan putusan hakim dalam kasus korupsi hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (2014) dan Patrialis Akbar (2017). Di dalamnya disebutkan sebagai hal yang meringankan: terdakwa bersikap sopan di pengadilan, masih memiliki tanggung jawab kepada keluarga, belum pernah dihukum dan pernah berjasa pada negara.

Tidak muncul pertimbangan dan penilaian atas sifat tercela atau jahat dari perbuatan yang dilakukan (korupsi-penyalahgunaan jabatan) atau penjelasan di luar pemenuhan unsur-unsur tindak pidana mengapa perilaku seperti itu harus dihukum dengan hukuman tertentu yang kemudian dibuat lebih ringan. Lain dari itu, tidakkah seharusnya dipertimbangkan bahwa semua kejahatan yang dilakukan tidak mungkin dilakukan sembarang orang dan justru terkait dengan kedudukan sebagai pejabat negara (jaksa, hakim)? Ketiganya bersalah melakukan kejahatan dalam jabatan dan itupun bukan sembarang jabatan.

Selanjutnya berbicara dari sudut pandang teori, seharusnya hal itu diperhitungkan sebagai hal yang memberatkan pidana. Sama halnya ketika hakim menjatuhkan pidana kepada para terdakwa kasus korupsi. Justru posisi mereka sebagai wakil rakyat atau pejabat negara (kedudukan yang dianggap mulia dan terhormat) memungkinkan mereka berkesempatan melakukan tindak pidana korupsi secara masif.

Dengan agak hiperbola kita juga dapat membandingkan persoalan di atas dengan peradilan tindak pidana crimes against humanity, Erich Eichmann di Israel. Proses yang diamati oleh Hannah Arendt yang kemudian mengajukan tesis perihal the banality of evil. Terdakwa ini di hadapan pengadilan justru tidak menampilkan diri sebagai manusia keji dan kejam, namun sebaliknya sebagai manusia yang bahkan tidak teramat paham akan ruang lingkup dan konsekuensi dari perbuatan salahnya.

Komunikasi dan Miskomunikasi

Bukti-bukti anekdotal yang disebutkan di atas tentu belum membuktikan secara sahih (dari kacamata metodologi ilmu pengetahuan hukum) kebenaran dari proposisi yang diajukan. Tapi dari itu setidaknya dapat ajukan hipotesa adanya hal yang tidak/belum beres dalam komunikasi hakim dengan para pencari keadilan dan masyarakat. Ini dikatakan khusus berkaitan dengan pekerjaan hakim ketika menetapkan pidana dalam konteks hal yang meringankan atau memberatkan. Analisis di atas juga tidak serta-merta mendukung kesimpulan bahwa memeriksa dan memutus perkara pidana seharusnya dilakukan oleh penegak hukum bukan manusia (artificial intelligence) yang bisa memperhitungkan semua variabel hukum dan non hukum secara objektif dan matematis. 

Apa yang dapat disimpulkan hanyalah bahwa contoh-contoh anekdotal yang ada menunjukkan (a) pentingnya persepsi hakim tentang situasi kondisi internal maupun eksternal terdakwa selama sidang; (b) tidak atau belum jelasnya bagaimana hal itu berkorelasi (secara matematis atau logis) dengan pengurangan atau pemberatan pidana; dan (c) sebagai konsekuensi dari hal itu, hakim seringkali gagal menampilkan diri sebagai pemutus mandiri atau imparsial sebagaimana diharapkan masyarakat pencari keadilan. Putusan pemidanaan dijatuhkan berdasar pertimbangan yang cenderung arbitrary dan membawa pesan yang berbeda dari yang hendak dicapai melalui penjatuhan pidana.

*)Tristam Pascal Moeliono, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Anggota KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik). Nefa Claudia Meliala, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait