Pertimbangan Hakim Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan dalam Putusan
Kolom

Pertimbangan Hakim Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan dalam Putusan

Satu hal yang juga penting untuk dipahami perihal persepsi hakim tentang hal meringankan atau memberatkan adalah pengaruh kenyataan bahwa ada bagian yang hilang dalam keseluruhan proses.

Satu ilustrasi adalah pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan No. 791/K/Pid/201 (perkara pembunuhan Ade Sara). Disebut di dalamnya sebagai hal yang memberatkan: menyebabkan putusnya garis keturunan, penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan dan dilakukan secara keji dan tidak berperikemanusiaan. Semua itu disebut dalam satu nafas dan secara kategorikal tidak dibedakan satu sama lain.

Sementara itu dalam kasus Baiq Nuril (2015), hakim mengabaikan fakta Nuril adalah korban dari pelecehan seksual secara verbal dan tindakannya dilakukan sebagai upaya membela diri. Dalam Kasus Saiful Mahdi, (2021), putusan bersalah karena menuliskan kegundahan di whatsapp group (keanggotaan terbatas) dijatuhkan dengan mengabaikan banyak faktor atau unsur yang melingkupi atau melatarbelakangi peristiwa tersebut. Faktor yang bila dipertimbangkan hakim sejatinya menghasilkan putusan bebas atau setidaknya putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Sebaliknya, dalam perkara Pinangki (2021), jaksa (pejabat negara) yang terbukti menerima suap dan membantu buron lepas dari jerat hukum pidana, Majelis Hakim, pada di tingkat banding, justru mempertimbangkan faktor subjektif: menyesali perbuatan, berjanji tidak akan mengulangi perbuatan, dan terutama faktor objetif: gender (perempuan) dan ibu yang memiliki anak balita sebagai hal yang meringankan penjatuhan pidana. Fakta ini dapat dipersandingkan dengan putusan hakim dalam kasus korupsi hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (2014) dan Patrialis Akbar (2017). Di dalamnya disebutkan sebagai hal yang meringankan: terdakwa bersikap sopan di pengadilan, masih memiliki tanggung jawab kepada keluarga, belum pernah dihukum dan pernah berjasa pada negara.

Tidak muncul pertimbangan dan penilaian atas sifat tercela atau jahat dari perbuatan yang dilakukan (korupsi-penyalahgunaan jabatan) atau penjelasan di luar pemenuhan unsur-unsur tindak pidana mengapa perilaku seperti itu harus dihukum dengan hukuman tertentu yang kemudian dibuat lebih ringan. Lain dari itu, tidakkah seharusnya dipertimbangkan bahwa semua kejahatan yang dilakukan tidak mungkin dilakukan sembarang orang dan justru terkait dengan kedudukan sebagai pejabat negara (jaksa, hakim)? Ketiganya bersalah melakukan kejahatan dalam jabatan dan itupun bukan sembarang jabatan.

Selanjutnya berbicara dari sudut pandang teori, seharusnya hal itu diperhitungkan sebagai hal yang memberatkan pidana. Sama halnya ketika hakim menjatuhkan pidana kepada para terdakwa kasus korupsi. Justru posisi mereka sebagai wakil rakyat atau pejabat negara (kedudukan yang dianggap mulia dan terhormat) memungkinkan mereka berkesempatan melakukan tindak pidana korupsi secara masif.

Dengan agak hiperbola kita juga dapat membandingkan persoalan di atas dengan peradilan tindak pidana crimes against humanity, Erich Eichmann di Israel. Proses yang diamati oleh Hannah Arendt yang kemudian mengajukan tesis perihal the banality of evil. Terdakwa ini di hadapan pengadilan justru tidak menampilkan diri sebagai manusia keji dan kejam, namun sebaliknya sebagai manusia yang bahkan tidak teramat paham akan ruang lingkup dan konsekuensi dari perbuatan salahnya.

Komunikasi dan Miskomunikasi

Bukti-bukti anekdotal yang disebutkan di atas tentu belum membuktikan secara sahih (dari kacamata metodologi ilmu pengetahuan hukum) kebenaran dari proposisi yang diajukan. Tapi dari itu setidaknya dapat ajukan hipotesa adanya hal yang tidak/belum beres dalam komunikasi hakim dengan para pencari keadilan dan masyarakat. Ini dikatakan khusus berkaitan dengan pekerjaan hakim ketika menetapkan pidana dalam konteks hal yang meringankan atau memberatkan. Analisis di atas juga tidak serta-merta mendukung kesimpulan bahwa memeriksa dan memutus perkara pidana seharusnya dilakukan oleh penegak hukum bukan manusia (artificial intelligence) yang bisa memperhitungkan semua variabel hukum dan non hukum secara objektif dan matematis. 

Apa yang dapat disimpulkan hanyalah bahwa contoh-contoh anekdotal yang ada menunjukkan (a) pentingnya persepsi hakim tentang situasi kondisi internal maupun eksternal terdakwa selama sidang; (b) tidak atau belum jelasnya bagaimana hal itu berkorelasi (secara matematis atau logis) dengan pengurangan atau pemberatan pidana; dan (c) sebagai konsekuensi dari hal itu, hakim seringkali gagal menampilkan diri sebagai pemutus mandiri atau imparsial sebagaimana diharapkan masyarakat pencari keadilan. Putusan pemidanaan dijatuhkan berdasar pertimbangan yang cenderung arbitrary dan membawa pesan yang berbeda dari yang hendak dicapai melalui penjatuhan pidana.

*)Tristam Pascal Moeliono, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Anggota KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik). Nefa Claudia Meliala, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait