Pertimbangan Hakim Terkait Memuat Klausula Arbitrase di Kasus Kepailitan

Pertimbangan Hakim Terkait Memuat Klausula Arbitrase di Kasus Kepailitan

Perjanjian bisnis perlu mengutamakan pendekatan win-win solution dan kebebasan para pihak untuk memiliki hukum dan arbiter yang akan memutuskan sengketa para pihak dengan baik.
Pertimbangan Hakim Terkait Memuat Klausula Arbitrase di Kasus Kepailitan

Arbitrase menjadi salah satu pilihan alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), menyebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam perjanjian arbitrase dapat dimasukkan klausula arbitrase, klausula arbitrase dibuat untuk mengatasi sengketa atau konflik yang mungkin terjadi. Lalu bagaimana bila dalam perkara kepailitan yang mencantumkan klausula arbitrase mengalami persoalan tersendiri? Bagaimana pertimbangan hakim dalam suatu perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase dalam kasus-kasus kepailitan?

Diketahui, perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis dan dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa, sesuai Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase. Dengan adanya Pasal 1883 ayat (1) KUHPerdata mengenal asas pacta sunt servanda bahwa setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Pasal 3 UU Arbitrase dan APS sudah memberikan pembatasan yang tegas dan jelas mengenai kompetensi absolut dari forum arbitrase. Misalnya BANI untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut, sehingga meniadakan kewenangan dari pengadilan negeri untuk mencampurinya.

Klausula arbitrase yang bersifat absolut (mengesampingkan kewenangan pengadilan negeri) sekali-kali tidak dapat mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga, apabila ternyata yang dituntut adalah soal kepailitan dari seorang debitur. Hal ini dapat dilihat di Putusan Mahkamah Agung RI No. 019 K/N/1999 tanggal 9 Agustus 1999 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 32/Pailit/1999/PN Niaga/Jkt.Pst tanggal 17 Juni 1999, yang pada intinya mempunyai kaidah hukum sebagai berikut:

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional