Pidana Adat Masuk RUU KUHP
Berita

Pidana Adat Masuk RUU KUHP

Pengaturan lebih teknis diperintahkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Anggota Komisi III DPR, Erma Surya Ranik, mengatakan dalam pembahasan RUU KUHP ada sejumlah isu penting yang belum disepakati salah satunya ketentuan Pasal 2 mengenai penerapan asas legalitas dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jika Pasal 2 RUU KUHP itu disetujui, pemerintah harus membentuk sejumlah peraturan teknis seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur khusus pidana adat, dan Peraturan Presiden (Perpres) untuk identifikasi dan kompilasi hukum adat.

(Baca juga: Hukum Masyarakat Adat Harus Kedepankan Prinsip Negara Kesatuan).

Ditambahkan Erma, pemerintah daerah dimandatkan untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pidana hukum adat. “Saya usul Perda ini di diterbitkan pada tingkat kabupaten agar bisa dijalankan dan mengeksekusi putusan peradilan adat,” urai politisi Partai Demokrat itu.

Selain itu Erma menekankan pentingnya menetapkan institusi yang akan menjalankan eksekusi sebagaimana putusan peradilan hukum adat. Dia menyebut ada peradilan adat di daerah Kalimantan yang strukturnya diisi oleh politisi, bahkan memutuskan untuk mendukung pasangan calon kepala daerah yang diusung partai tertentu. Struktur adat itu juga punya kewenangan untuk menetapkan sanksi, misalnya ketika terjadi konflik tanah dengan korporasi.

Oleh karenanya Erma mengusulkan agar pembahasan pidana adat ini dilakukan secara mendalam dan tidak buru-buru. “Kami Fraksi Partai Demokrat secara umum mendorong agar RUU KUHP didalami kembali, tidak usah buru-buru karena isinya sangat rumit,” usulnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengingatkan agar hati-hati dalam merumuskan pidana hukum adat dalam RUU KUHP. Hukum adat sifatnya tidak kaku; hukum adat itu dinamis dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Dalam perspektif budaya, unsur hukum yang sukar berubah bersinggungan dengan unsur kebudayaan inti seperti ideologi, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan dan pria. “Hukum adat bukanlah hukum yang sekali dibuat selamanya akan tetap tinggal. Hukum adat selalu berubah,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait