Pidana Kedokteran untuk Seimbangkan Dokter-Pasien
Berita

Pidana Kedokteran untuk Seimbangkan Dokter-Pasien

Kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu indentik dengan kesalahan melakukan tindakan medis.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pidana Kedokteran untuk Seimbangkan Dokter-Pasien
Hukumonline
Sidang pengujian Pasal 66 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terkait hak masyarakat melaporkan tindak pidana kedokteran, kembali digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (08/4). Agenda sidang kali hanya mendengar keterangan pemerintah.

Dalam keterangan yang dibacakan Staf Ahli Menteri Kesehatan Budi Sampurno, pemerintah mengganggap dalil permohonan bukan menyangkut persoalan konstitusionalitas, melainkan menyangkut penerapan hukum yang keliru. Sebab, saat muncul kasus dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani masyarakat langsung mengadukan dokter ke polisi, dan mengabaikan proses majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia (MKDKI).  

“Permohonan ini muncul sebelum keluarnya putusan peninjauan kembali (PK) No. 79 PK/PID/2013 tanggal 7 Februari 2014 yang telah memutus bebas dokterr Ayu dkk. Jadi permohonan ini bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan penerapan hukum yang keliru,” kata Budi di hadapan Majelis MK yang diketuai Arief Hidayat.

Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran menyebutkan “Pengaduan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.”

Budi menegaskan dalam kasus dokterr Ayu, penegak hukum telah keliru menerapkan Pasal 66 ayat (3) itu. Penegak hukum dinilai kurang jeli dan kurang sempurna dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sehingga, dalil pemohon Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran dikatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tidak berdasar.

Menurut Budi ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU tersebut hakikatnya dalam rangka menjaga keseimbangan antara dokter dengan pasien. Di satu sisi, agar dokter dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan perspektif praktik kedokteran yang berlaku. Di sisi lain, masyarakat diberi perlindungan dalam memperoleh tindakan kedokteran sesuai standar operasional prosedure (SOP).

Dijelaskannya Budi, dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang khas lantaran dibenarkan hukum melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Karenanya, tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan dokter/dokter gigi dikategorikan sebagai tindak pidana. “Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter atau dokter gigi terlihat dari maraknya tuntutan hukum oleh masyarakat disebabkan kegagalan upaya penyembuhan”.

Padahal, lanjut Budi, dokter atau dokter gigi hanya mampu berupaya menyembuhkan dengan cara pengobatan terbaik bagi pasien. Karena itu, kegagalan penerapan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi tidak selalu indentik dengan kesalahan dalam merencanakan atau melakukan tindakan medis.

Sebelumnya, empat orang dokter yakni  Eva Sridiana, Agung Sapta Adi, Yadi Permana, dan Irwan Kreshnanamurti mempersoalkan Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran. Para pemohon memandang luasnya ruang lingkup tindak pidana dalam pasal itu secara tak langsung memberi ancaman ketakutan bagi dokter saat memberikan pelayanan medis. Sebab, seolah seluruh tindakan dokter berpotensi tindak pidana.

Seperti yang dialami dokter Dewa Ayu Sasiary Prawari, dokter Hendry Simanjuntak, dan dokter Hendy Siagian yang dijatuhi pidana selama 10 bulan melalui putusan MA No. 90/PID.B/2011/PN MDO. Gara-gara kasus ini dokter melakukan mogok.Karenanya, para pemohon meminta Pasal 66 ayat (3) harus dimaknai dugaan tindak pidana hanya tindakan kedokteran yang mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian berat yang telah dinyatakan terbukti dalam sidang MKDKI sebelumnya.
Tags: