Pidato 16 Agustus, Konvensi Ketatanegaraan Warisan Orba
Berita

Pidato 16 Agustus, Konvensi Ketatanegaraan Warisan Orba

Ketua MK mencatat hanya tersisa dua konvensi ketatanegaraan di Indonesia.

Oleh:
ALI/ASH
Bacaan 2 Menit

“Namun di bawah Orde Baru kebiasaan di atas telah ditinggalkan, sebagai gantinya pada setiap tanggal 16 Agustus, Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat,” jelasnya. 

Bila Akil mencatat hanya ada tinggal dua praktek yang disebut konvensi ketatanegaraan, Dahlan mencatat lebih dari itu. Salah satunya adalah praktek di MPR yang mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. “Itu contoh-contoh yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara yang sedang berjalan,” sebutnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, MK sendiri pernah berpendapat bahwa sistem pemilu legislatif dan pemilu presiden yang dilakukan secara terpisah merupakan kebiasaan atau praktek ketatanegaraan yang dilaksanakan secara berulang-ulang. Pendapat ini terdapat pada Putusan uji materi UU No. 42 tahun 2008 yang mengatur pemilihan presiden.

Kala itu, MK berpendapat pemisahaan pileg dan pilpres bukan hal baru pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 2004, pemisahan itu juga sudah terjadi. “Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau konvensi ketatanegaraan (kebiasan) yang telah menggantikan ketentuan hukum,” demikian bunyi pendapat MK.

Namun, tiga hakim konstitusi –termasuk Akil Mochtar- tak sependapat bila pemisahan ini dianggap sebagai konvensi dengan menyatakan dissenting opinion. Akil mengkritik pengertian konvensi ketatanegaraan yang dianut mayoritas koleganya. 

“Sulit untuk diterima, karena pemilu baru akan berlangsung dua kali (Tahun 2004 dan rencananya 2009) yang belum bisa dikualifikasi sebagai konvensi ketatanegaraan,” sebutnya kala itu.

Namun, benarkan bila sebuah praktik ketatanegaraan dapat disebut konvensi bila sudah dilaksanakan secara berulang-ulang (lebih dari sekali)?

Halaman Selanjutnya:
Tags: