Pilihan Presiden Terpilih
Tajuk

Pilihan Presiden Terpilih

​​​​​​​Banyak orang yakin bahwa Jokowi sudah menentukan sikap, dan akan memberikan pilihan dan keputusan yang terbaik atas gejolak yang terjadi. Mudah-mudahan ini bukan keyakinan dan harapan kosong menjelang pergantian pemerintahan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit

 

Yang justru mengherankan dan menimbulkan pertanyaan besar adalah mengapa para pembantunya dan parpol pendukung Jokowi justru menghendaki berlakunya perubahan UU KPK, yang notabene akan: (a) melemahkan KPK dengan dicabutnya sejumlah kekuasaan dan independensi KPK, (b) melemahkan gerakan antikorupsi pada tingkat masyarakat sipil karena gerakan ini akan memberi kesan gerakan yang melawan hukum positif yang ada, dan (c) menggiring Jokowi untuk mengingkari janji kampanye dan programnya sendiri untuk memperkuat KPK dan menjadikan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi semakin efektif.

 

Bahkan kalau mau lebih dalam lagi, para pendukung Jokowi seharusnya menyadari bahwa menggiring Jokowi ke arah itu akan mengubah citra Jokowi dari kepala negara besar yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi menjadi kepala negara besar yang otoriter yang korup. Dalam tajuk September yang lalu, ada dugaan bahwa ini merupakan konspirasi besar, karena KPK dianggap terlalu kuat dan sulit dikendalikan.

 

Hukumonline.com

 

Kita ingat ucapan SBY yang terkenal pada periode kisruh Cicak Buaya yang secara terbuka mengatakan: "Regarding KPK, I must caution it. Power must not go unchecked." Rupanya ketakutan ini terulang. Ada kesan kuat bahwa Jokowi saat ini digiring ke suatu pemahaman dan keyakinan bahwa memang KPK perlu diawasi atau dibatasi kekuasaannya, dan karenanya UU KPK yang baru harus diberlakukan. Suatu penyesatan, yang akan berhasil, bilamana UU KPK yang baru efektif diberlakukan atau berlaku dengan sendirinya.

 

Ada dugaan juga bahwa ini suatu test case dari parpol pendukungnya mengenai kekuatan tawar menawar Jokowi lima tahun ke depan pemerintahannya. Ini sedikit terkuak beberapa hari belakangan ini dengan ramainya pembicaraan tentang rencana MPR untuk melakukan perubahan UUD, yang kira-kira isi utamanya tentang: (a) pemilihan presiden tidak lagi langsung oleh rakyat, tetapi melalui MPR sebagai wakil rakyat, yang notabene merupakan perampasan hak rakyat untuk berpartisipasi langsung dalam proses demokrasi dengan memilih presidennya sendiri, (b) diberlakukannya  kembali GBHN yang melucuti kekuasaan dan keleluasaan Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi dalam mengelola negara, dan (c) memperpanjang masa jabatan Presiden, yang akan bisa menimbulkan penumpukan kekuasaan di satu tangan atau kelompok, yang sangat berpotensi menimbulkan praktik otoriter dan korupsi.

 

Dalam suatu kesempatan terbuka, Jokowi pernah mengatakan ketidak-kesetujuannya atas rencana  untuk merampas hak pilih rakyat tersebut. Justru karena ada sistem inilah orang seperti Jokowi bisa terpilih menjadi kepala negara. Para parpol pendukungnya justru berusaha menggiring Jokowi ke arah yang bertentangan dengan nuraninya.  

 

Mereka yang awam di bidang politik memperkirakan bahwa analisa risiko politik yang mungkin dilakukan oleh istana, jika Perppu dikeluarkan, adalah menjawab beberapa pertanyaan berikut: (i) apakah Jokowi akan tetap didukung oleh parpol pendukungnya dalam pilpres yang lalu dalam melakukan keputusan-keputusan besar lima tahun ke depan pemerintahannya, terutama yang melibatkan DPR, (ii) apakah akan timbul suatu kesan kuat bahwa Jokowi dapat ditundukkan oleh kekuatan politik non-partai yang bahkan hanya punya kekuatan moral sejumlah kecil tokoh dan dukungan mahasiswa, ((iii) apakah semua program yang menjadi minat dan fokus Jokowi selama masa pemeritahannya yang pertama (pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, pendidikan dan pemeliharaan kesehatan untuk golongan masyarakat orang tidak mampu tidak bisa berjalan), (iv) apakah pertumbuhan ekonomi akan menjadi memburuk karenanya, (v) apakah investasi (asing dan dalam negeri) akan menjadi terdampak karenanya, (vi) apakah dukungan dan rakyat kecil, masyarakat luas dan kelas menengah Indonesia akan menjadi lemah karenanya?

 

Banyak survei dan penelitian mengatakan bahwa semua kekhawatiran itu tidak nyata, dan hanya dihembuskan untuk mengecilkan nyali Jokowi dalam mengambil keputusan. Dukungan parpol lima tahun ke depan akan tergantung banyak dari apa agenda dan pada taraf apa dukungan diperlukan. Apakah dukungan tersebut memerlukan regulasi baru atau amendemen regulasi yang sudah ada? Kalau memang begitu, apakah harus dalam bentuk undang-undang yang memerlukan persetujuan DPR? Apakah tidak cukup dengan membuat regulasi baru atau mengubah regulasi yang ada dengan produk yang di bawah tingkat undang-undang? Kalaupun dibutuhkan regulasi baru dalam bentuk atau setingkat undang-undang, apakah betul setiap parpol akan menentangnya dengan serta merta?

Tags:

Berita Terkait