Plus Minus Aturan Perpajakan dalam UU HPP
Utama

Plus Minus Aturan Perpajakan dalam UU HPP

Ada apresiasi untuk penerapan pajak karbon, namun di sisi lain program PSWP menjadi pertanyaan dalam UU HPP.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) resmi disahkan oleh DPR bersama pemerintah pada Kamis, (7/10). Menurut peneliti Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, reformasi perpajakan dalam UU HPP bukanlah semata mata karena urgensi untuk menutupi defisit anggaran semata namun jauh dari itu, keberadaan UU HPP merupakan perubahan struktural dan jangka panjang.

Fajry menegaskan bahwa UU HPP bukanlah pengganti reformasi pajak lainnya, namun sebagai pelengkap dan penyempurna reformasi pajak yang terus dilakukan oleh Pemerintah. Di samping UU HPP, pemerintah niscayanya terus melakukan perbaikan dan reformasi pajak secara berkala. Namun, perbaikan terebut hanya terbatas pada cakupan regulasi yang ada.

“Untuk itu, pemerintah memang perlu merevisi UU jika ingin melakukan reformasi secara menyeluruh dan masif. Lebih lanjut, reformasi yang dilakukan secara berkala tersebut memang perlu disokong oleh kebijakan baru, yang mana hanya dapat dilakukan dalam konteks merevisi UU Perpajakan yakni UU HPP,” jelas Fajry, Jumat (8/10).

Reformasi perpajakan dalam UU HPP dapat dibagi menjadi enam kluster yakni kluster PPN, Kluster PPh, Kluster KUP, Kluster Pajak Karbon, Kluster PSWP, dan Kluster Cukai. Fajry memberikan pandangannya terkait enam kluster ini karena dinilai memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. (Baca: UU HPP Diklaim Berikan Keadilan dan Kepastian Hukum di Sektor Perpajakan)

Pertama, kluster PPN. Dalam catatan CITA, UU HPP tetap memberikan fasiltias PPN bagi barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, Jasa Pendidikan, Jasa Kesehatan, Jasa Keuangan, Jasa Pelayanan Sosial, Jasa Asuransi, Jasa Angkutan Umum, dan Jasa Tenaga Kerja. UU HPP hanya mengalihkan, dari fasilitas pengecualian PPN (Pasal 4a) ke fasilitas PPN dibebaskan (Pasal 16B).

Dari sisi belanja perpajakan (tax expenditure), tentunya tidak akan ada terjadi perubahan. Begitupula dengan beban PPN yang harus ditanggung oleh konsumen, tetaplah sama. Kebijakan di UU HPP ini tidak menambahan beban PPN bagi konsumen. Alhasil, masyarakat sebagai konsumen tak perlu khawatir, tak akan ada kenaikan harga akibat kebijakan ini.

Namun, dengan diberikan fasilitas Pembebasan PPN maka seluruh objek tersebut masuk ke dalam sistem perpajakan. Ini penambahan basis pajak, ini sebuah perbedaan besar. Dengan demikian, otoritas pajak dapat mengetahui nilai peredaran barang/jasa. Ini krusial dalam sistem perpajakan self-assessment karena akan sangat membantu dari sisi pengawasan.  Akan tetapi, peralihan ini akan memberikan beban administrasi bagi pengusaha yakni wajib menerbitkan faktur. Ini akan menjadi tantangannya.

Kemudian penetapan tarif PPN hanya naik 1% di tahun 2022. Dalam Supres RUU KUP kenaikan tarif PPN sebesar 2%. Bahkan sebelum Supres RUU KUP, kenaikan tarif bahwa diwacanakan sampai sebesar 4%. Memang, dalam beberapa studi literatur, kontraksi ekonomi yang diakibatkan kenaikan tarif PPN dapat di-offset dengan penurunan tarif PPh Badan. Pemerintah sendiri sudah terlebih dahulu telah menurunkan tarif PPh Badan. Dengan demikian seharusnya tak begitu khawatir dengan dampak ekonomi dari kenaikan tarif PPN.

Namun, dampak ekonomi pandemi Covid-19 mewajibkan pemerintah untuk menyesuaikan besaran kenaikan tarif. Dengan kenaikan tarif PPN sebesar 1% di tahun 2022 maka pertimbangan dampak ekonomi pasca pandemi covid-19 sudah diakomodasi dalam UU HPP.

Untuk PPN Final dan Pasal 7a dalam Supres RUU KUP dihapus dalam UU HPP. UU HPP menerapkan PPN final dengan tarif tertentu pada sektor tertentu. Penganaan “PPN final” memang lumrah di banyak negara. Tujuannya, untuk memudahkan dari segi pemungutan sehingga pengadministrasiannya lebih mudah pada kelompok usaha tertentu. Selain “PPN final”, pasal 7a dihapus dalam UU KUP.

Dengan demikain, tidak akan ada skema multitarif. Skema ini sendiri cukup polemik. Meskipun dibanyak negara sudah lumrah untuk digunakan. Dari sisi keadilan, skema ini lebih memenuhi asas keadilan, namun lebih menyulitkan dari sisi administrasi.

“Untuk itu, kami menghormati keputusan DPR dalam menghapus pasal skema multitarif. Lebih lanjut, dengan dihapusnya skema multitarif maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah tetap ada,” jelasnya.

Kedua, kluster PPh. Tarif PPh badan di tahun 2022 tetap sebesar 22%. Ketentuan ini membalikkan arah kebijakan sebelumnya yakni dalam UU No. 2 tahun 2020 yang menurunkan tarif PPh Badan menjadi 20% di 2022. Menurut Fajry perlu disadari bahwasanya kebijakan penurunan tarif PPh Badan dalam UU No. 2 tahun 2020 lahir sebelum adanya konsensus global mengenai global minimum tax.

Seperti kita ketahui, The OECD/G20 Inclusive frameworks on BEPS mendukung adanya Penerapan Tarif Pajak Penghasilan Badan Minimal Secara Global (GloBE) di awal bulan Juli 2021. Dengan adanya global minimum tax maka kompetisi tarif pajak diharapkan berakhir. Alhasil, penurunan tarif PPh badan lebih mendalam menjadi tak lagi relevan. Dua negara adidaya, Inggris dan Amerika Serikat juga berencana menaikkan tarif PPh Badan pasca pandemi.

Kemudian pengenaan Pajak atas fringe benefit atau natura tertentu. Pengenaan ini digunakan untuk optimalisasi penerimaan PPh OP (orang pribadi) dan juga mendesain kebijakan pajak yang lebih progresif. Selama ini, banyak penghindaran  PPh OP dilakukan melalui pemberian natura. Berdasarkan laporan belanja perpajakan, 50% tax expenditure berbentuk natura dinikmati WP OP lapisan tarif tertinggi. Dengan demikian, Fajry menilai kebijakan ini tak hanya meningkatkan penerimaan tapi juga memberi rasa keadilan.

Lalu ada penambahan lapisan tarif PPh OP. Selama ini, jumlah lapisan tarif PPh OP di Indonesia tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan banyak negara. Hal ini mempengaruhi progresivitas dari instrumen PPh OP. Dengan penambahan lapisan tarif, instrumen PPh OP akan menjadi lebih progresif. Jadi penambahan lapisan tarif ini tak semata-mata soal peningkatan penerimaan dari PPh OP. Penambahan lapisan tarif ini juga sejalan dengan pengaturan kembali fringe benefit atau natura.

Dan untuk peredaran Bruto Tak Kena Pajak bagi WP OP (Orang Pribadi), Fajry menjelaskan saat ini pengusaha UMKM yang memanfaatkan PPh Final juga mendapatkan fasilitas omzet yang tidak kena pajak. Bagi WP OP yang memanfaatkan PPh Final PP 23/2018 dan memiliki peredaran bruto sampai Rp500 juta tak dikenai PPh. Sedangkan bagi WP OP yang memanfaatkan PPh Final PP 23/2018 namun omzetnya melebihi Rp500 juta akan mendapatkan benefit dari kebijakan ini.

Tags:

Berita Terkait