Polemik Indosat dan Tanggung Jawab Negara Dalam Perspektif Hukum Angkasa
Kolom

Polemik Indosat dan Tanggung Jawab Negara Dalam Perspektif Hukum Angkasa

Saatnya pemerintah mengambil tindakan nyata, baik dengan membeli kembali saham Indosat secara bertahap dan/atau merancang instrumen hukum yang mengatur hal ini secara khusus.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Peluncuran satelit Palapa A1 dari Kennedy Space Center, Amerika Serikat, pada tahun 1976 adalah tonggak sejarah partisipasi Indonesia dalam aktivitas ruang angkasa. Rakyat Indonesia dapat berbangga hati mengingat Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang memiliki dan mengoperasikan satelit (satelit telekomunikasi dalam konteks tulisan ini). Kewajiban negara untuk menjamin penyelenggaraan telekomunikasi yang optimal bagi rakyat, serta alasan pertahanan dan keamanan negara, pada era digital ini demi kepentingan nasional semakin menguatkan urgensi peran satelit bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Tanggung jawab negara sehubungan dengan aktivitas luar angkasanya diatur dalam beberapa konvensi hukum angkasa, di antaranya adalah the Outer Space Treaty of 1967, the Space Liability Convention of 1972, dan the Registration Convention of 1975. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi ketiganya sebagai wujud iktikad baik akan tanggung jawab aktivitas ruang angkasanya kepada dunia, terutama dalam konteks pengoperasian Satelit Palapa.

Ratifikasi berarti kesiapan Pemerintah Indonesia untuk bertanggung jawab kepada pihak ketiga terhadap segala kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh badan hukum Indonesia, baik BUMN maupun perusahaan swasta, sehubungan pengoperasian satelit. Cakupan pengoperasian satelit-pun sangat luas, dimulai dari diluncurkannya satelit ke orbit hingga matinya satelit dan menjadi sampah ruang angkasa. Hal ini berarti Pemerintah Indonesia berpotensi memberikan ganti kerugian mulai dari jumlah yang sedikit, seandainya komponen satelit jatuh menimpa halaman belakang rumah seseorang, hingga miliaran Rupiah ketika komponen Satelit Palapa yang terlepas di orbit merusak satelit aktif lainnya atau bahkan stasiun ruang angkasa.

Fenomena privatisasi dan penanaman modal asing (foreign direct investment) telah mengubah struktur kepemilikan saham beberapa perusahaan nasional yang memiliki peran strategis. Sektor telekomunikasi turut terkena imbasnya dimana Pemerintah Indonesia kini hanya memiliki 14.29% saham PT. Indosat Tbk. (“Indosat”). Sebelumnya, Indosat sempat menjadi BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Terlepas dari isu pertahanan dan keamanan negara, sangat mungkin pertimbangan komersial, di tengah minimnya dana APBN untuk membeli kembali saham Indosat, menjadi dasar diamnya pemerintah. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pembiaran status quo ini berpotensi (lebih) merugikan negara dari perspektif hukum angkasa.

Kepemilikan 65% saham Indosat oleh Ooredoo Asia Pte. Ltd. (“Ooredoo”) berarti secara matematis Ooredoo memiliki kontrol efektif terhadap manajemen Indosat. Sebagai pemegang saham mayoritas, segala rencana pengembangan bisnis dan keputusan penting perusahaan harus mendapatkan persetujuan Ooredoo. Logikanya Ooredoo juga harus bertanggung jawab, minimum sebesar porsi kepemilikan sahamnya, seandainya Indosat menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga. Namun, logika sederhana ini tidak dapat diterapkan begitu saja ketika berbicara mengenai tanggung jawab Indosat terhadap pengoperasian satelitnya.

Indosat, didirikan sebagai badan hukum Indonesia, pada saat ini merupakan operator Satelit Palapa D. Peluncuran satelit tersebut dilakukan pada tahun 2009 dari Xichang Satellite Launch Center, Cina. Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia sebagai negara tempat didaftarkannya satelit (state of registry) dan Cina sebagai negara tempat diluncurkannya satelit (the launching state) adalah negara yang akan bertanggung jawab seandainya terjadi kerugian terhadap pihak ketiga. Perlu diingat bahwa tanggung jawab berada di pundak negara, sehingga pemberian ganti kerugian dilakukan antar pemerintah. Hukum nasional yang menentukan bagaimana mekanisme pemerintah menarik dana dari perusahaan nasionalnya yang menimbulkan kerugian.

Lalu kemanakah Ooredoo dan negara tempat didirikannya Ooredoo? Pertanyaan lanjutannya adalah kemanakah pemegang saham mayoritas Ooredoo dan negara tempat didirikannya entitas tersebut? Status Indosat sebagai perusahaan terbuka, dengan sekitar 20% saham Indosat dimiliki publik, semakin memperumit konsep pertanggungjawaban pemegang saham. Saat ini sangat mudah bagi para pemegang saham Indosat untuk mengatakan siap bertanggung jawab, mengingat belum pernah ada kasus hukum yang melibatkan satelitnya. Ketika tiba saatnya, apakah pemerintah dapat memastikan mereka benar-benar siap secara finansial? Tanpa instrumen hukum yang jelas, celah untuk melarikan diri terbuka lebar seandainya Indosat harus memberikan ganti kerugian.

Rencananya Indosat sebagai operator akan meluncurkan satelit Palapa E pada tahun 2016 mendatang. Berarti Indonesia akan tercatat kembali sebagai state of registry dan mengemban tanggung jawab yang besar, padahal pemerintah hanya menjadi pemegang saham minoritas. Tidak selamanya diam itu emas. Kini saatnya pemerintah mengambil tindakan nyata, baik dengan membeli kembali saham Indosat secara bertahap dan/atau merancang instrumen hukum yang mengatur hal ini secara khusus.

Tidak perlu muluk-muluk merancang undang-undang yang tentunya memakan banyak waktu. Mengingat urgensinya, instruksi presiden dan keputusan menteri dapat menjadi langkah awal. Sebagai negara berdaulat, tentu saja pemerintah dapat membuat kebijakan yang mewajibkan negara tempat didirikannya perusahaan asing yang memegang saham Indosat untuk turut bertanggung jawab. Seandainya negara tersebut belum meratifikasi the Registration Convention of 1975, perjanjian bilateral dapat menjadi alternatif. Pada tingkat korporasi, sangat mungkin ketentuan ini dapat dituangkan pada perjanjian pemegang saham (shareholders agreement). Keberadaan instrumen hukum tersebut akan memudahkan Pemerintah Indonesia untuk mengumpulkan dana ganti kerugian dari para pemegang sahamnya secara efektif seandainya satelit Indosat menimbulkan kerugian.

Jangan sampai pemerintah harus menyediakan dana lebih besar dari porsi saham yang dimilikinya, yang berarti menombok ‘hutang’ pihak lain dengan menggunakan dana APBN. Masih banyak daerah di Indonesia yang harus dibangun di tengah keterbatasan APBN, jadi sudah saatnya celah ini harus di tutup rapat-rapat!

* Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden, dan anggota German Aviation Research Society
Tags:

Berita Terkait