Polemik Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual
Kolom

Polemik Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual

​​​​​​​Terobosan dalam penegakan hukum perlindungan anak ini perlu didasarkan pada pengujian dan penilaian yang menyeluruh baik dari segi medis, psikologis, dan hukum sebagai upaya mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kebiri kimia.

Bacaan 8 Menit
Nathalina Naibaho dan Tunggal S (kolase). Foto: Istimewa
Nathalina Naibaho dan Tunggal S (kolase). Foto: Istimewa

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak sebagai turunan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Aturan ini memberikan kewenangan kepada negara untuk dapat menjatuhkan Tindakan Kebiri Kimia bagi Pelaku Persetubuhan terhadap Anak, yang mana tindakan kebiri kimia sebagai pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau menggunakan metode yang lain.

Tindakan kebiri kimia ini hanya dilakukan kepada pelaku dewasa yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang mana perbuatannya menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, yang bertujuan untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi. Tindakan kebiri kimia ini akan dijalankan setelah pelaku menjalani pidana pokoknya. Terbitnya peraturan ini diharapkan dapat menjadi jawaban tentang pelaksanaan tindakan kebiri kimia dalam praktik.

Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto No.69/Pid.Sus/2019/PN.Mjk merupakan putusan pertama yang isinya memerintahkan penjatuhan tindakan kebiri kimia bagi Terpidana M. Aris, setelah selesai menjalani pidana penjara. Namun, di sisi lain, tindakan kebiri kimia menuai kritik termasuk dari aliansi profesi, terkait dampaknya terhadap terpidana, hak dasar terpidana yang rentan terlanggar, dan siapa pihak yang akan melakukan eksekusinya? Dengan demikian, tulisan ini dimaksudkan untuk membuat terang apa tujuan tindakan kebiri kimia, siapa yang perlu untuk dikenai tindakan ini, dan polemik yang mengemuka terkait penerapannya.

Falsafah Pemidanaan Indonesia

Dua aliran utama yang berkembang di Indonesia yaitu aliran retributif dan aliran utilitarian yang membentuk teori-teori tujuan pemidanaan, yakni teori retributif, teori deterrence/pencegahan, teori rehabilitasi, teori resosialisasi dan teori integratif. Teori retributif, teori ini sering disebut sebagai suatu pembalasan bahwa orang yang telah melakukan kejahatan harus mendapatkan hukuman sebagai suatu konsekuensi, sehingga pidana yang diterima oleh seseorang sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya. Teori deterrence menjelaskan bahwa pidana memiliki tujuan lain selain hanya untuk balas dendam kepada pelaku.

Jeremy Bentham berpendapat bahwa pidana memiliki tujuan untuk mencegah semua pelanggaran (to prevent all offences); mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offences); menekan kejahatan (to keep down mischief); dan/atau menekan kerugian dengan biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense). Selanjutnya teori rehabilitasi, berangkat dari pandangan bahwa penyebab orang melakukan kejahatan dikarenakan adanya suatu penyakit,  sehingga pemidanaan bertujuan untuk memperbaiki diri si pelaku yang berfokus untuk pengobatan sosial dan moral terhadap terpidana agar dapat kembali berintegrasi ke dalam masyarakat.  

Teori resosialisasi mensyaratkan bahwa pemidanaan bertujuan untuk mempersiapkan pelaku kejahatan kembali kepada masyarakat, sebagai manusia seutuhnya. Sehingga dipandang perlu untuk membekali pelaku dengan berbagai keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan agar ia dapat hidup mandiri di dalam masyarakat. Jika pemidanaan memiliki orientasi sebagai pembalasan, pencegahan dan penjeraan, perlindungan masyarakat, pengobatan, pemasyarakatan dan ganti kerugian, maka perpaduan dari semua tujuan pemidanaan menjadi tujuan dari teori integratif. Untuk mengetahui tujuan apa yang hendak dicapai dari suatu ancaman atau penjatuhan sanksi, maka dapat diperiksa dari tujuan yang terdapat dalam bagian aturannya, dalam naskah akademik dan catatan risalah rapat perumusan suatu ketentuan serta dapat pula ditemukan dalam pertimbangan di suatu putusan, meski untuk mengetahui tujuan pemidanaan yang dianut oleh petugas penegak hukum bukanlah hal yang mudah sebab tujuan tersebut tidak selalu dijelaskan dalam produk hukum yang dihasilkannya.

Tujuan Pemidanaan dalam Penjatuhan Tindakan Kebiri Kimia di Indonesia

Dalam UU No. 17 Tahun 2016 dan PP No. 70 Tahun 2020 dapat diketahui bahwa tujuan penambahan ketentuan mengenai tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi adalah untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Lalu, penjatuhan tindakan kebiri kimia akan dibarengi dengan adanya pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi bagi pelaku.

Tags:

Berita Terkait