Polemik Keterbukaan Informasi Pasien Covid-19 Akibat Regulasi yang Tak Memadai
Utama

Polemik Keterbukaan Informasi Pasien Covid-19 Akibat Regulasi yang Tak Memadai

Berbeda dengan negara-nagara lain seperti Korsel atau Singapura, aturannya relatif komprehensif.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: CUP
Ilustrasi: CUP

Ketegangan terkait keterbukaan informasi publik dalam rangka penanganan pandemi Coronavirus Disease-19 (Covid - 19) masih menjadi salah satu hal yang menarik perhatian sebagian kalangan. Diskursus ini semakin menemukan momentumnya ketika ada warga negara yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji norma dalam sejumlah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi informasi data pasien. 

 

Pemohon diketahui menguji Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan. Ketiga pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28 F dan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.

 

Terkait hal ini, sebenarnya pemohon tidak sendirian. Banyak pihak yang juga telah menyuarakan kepada pemerintah untuk membuka informasi pasien atau suspect Covid-19. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi penyebaran Covid-19 jika publik sejak awal mengetahui informasi pasien atau suspect Covid-19. 

 

Tapi, di saat bersamaan keterbukaan informasi pasien dipandang sebagian kalangan sebagai penyebab timbulnya diskriminasi kepada pasien. Potensi menuju ke arah sana sebenarnya bisa dilihat dari contoh kasus pasien 01 dan 02 yang dinyatakan positif Covid-19. Informasi diri mereka dibuka secara terang sehingga sampai pada titik tertentu, menjadi korban diskriminasi sosial karena stigma publik terhadap korban yang berlebihan. 

 

Tidak hanya kedua pasien ini, belakangan diketahui sejumlah tenaga medis mulai mengalami penolakan sosial setelah diketahui ikut menjadi pihak yang menangani sejumlah kasus Covid-19 di rumah sakit tempat mereka bekerja. Situasi ini yang sampai mendorong Gubenur DKI menyediakan sejumlah hotel kepada para medis yang telah menangani pasien Covid-19 di rumah sakit. 

 

Hukumonline coba untuk menghimpun sejumlah keterangan terkait ketegangan tentang bagaimana memperlakukan informasi data pribadi pasien, terutama yang berkaitan dengan Covid-19. Sejumlah ketentuan mengatur tentang informasi data pasien merupakan informasi sensitif yang termasuk dalam klasifikasi informasi yang dikecualikan (terminologi UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) untuk dibuka ke publik. 

 

Kenapa sensitif? Deputi Direktur ELSAM, Wahyudi Djafar mengungkapkan alasannya. “Kenapa data pribadi kesehatan masuk kualifikasi data sensitif karena dia membuka peluang diskriminasi dan pengucilan sosial,” ujar Wahyudi kepada hukumonline, Senin (30/3) melalui sambungan telepon. 

 

Namun, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Hendra Kede mengatakan bahwa diskursus ini jika ingin ditarik ke ranah yang lebih filosofis, terdapat benturan antara hak asasi pasien yang harus dilindungi dan hak asasi publik untuk lebih terlindungi dari penyebaran Covid-19.

 

Jika dilihat lebih jauh, pengecualian terhadap informasi pasien telah memiliki payung hukum seperti Pasal 17 h UU KIP serta Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

 

Namun, di saat yang sama, Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan yang dapat mengensampingkan ketentuan dalam Pasal 57 ayat (1), salah satunya, demi kepentingan masyarakat. Menurut Hendra, jika berkaca pada kelompok yang menginginkan dibukanya informasi pasien Covid-19 ke publik terdapat penilaian yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 sudah mengancam kepentingan masyarakat, mengancam kesehatan masyarakat, dan penularannya sudah sedemikian mengkhawatirkan. 

 

Jika melihat situasi saat ini, Hendra mengatakan membuka data pasien Covid-19 adalah salah satu kebijakan yang teramat sangat diperlukan untuk menahan laju penyebaran Covid agar kepentingan masyarakat untuk tidak terinfeksi Covid-19 bisa dilindungi. “Itulah dasar hak asasi masyarakat umum dalam situasi Pandemi Corona,” ujar Hendra kepada hukumonline.

 

(Baca: Kontroversi Kerahasiaan Data Pasien Covid-19, Advokat Ini Daftarkan Uji Materi ke MK)

 

Menurut Hendra, dengan membuka informasi pasien Covid-19, potensi masyarakat tertular oleh wabah ini bisa di minimalisir lebih optimal karena masyarakat dapat menjalankan mekanisme Pencegahan Oleh Diri Sendiri karena sebelumnya telah dibekali informasi secara jelas oleh yang berwenang. Hal ini jelas berbeda dengan amanat Pasal 17 h Undang-Undang KIP.

 

Hendra menjelaskan norma Pasal 10 ayat (1) UU yang sama. Dalam ketentuan pasal tersebut, Badan Publik wajib mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Menurut Hendra, publik berhak memperoleh informasi serta merta jika ada sesuatu yang mengancam kehidupannya dan ketertiban umum, termasuk dan tidak terbatas pada penyebaran penyakit yang bestatus Wabah, apalagi Endemi, dan lebih lebih lagi jika sudah Pandemi seperti Pandemi Corona. 

 

“Seluruh informasi yang memungkinkan meningkatnya peluang masyarakat terinfeksi harus diinformasikan kepada masyarakat begitu informasi tersebut diketahui,” ungkap Hendra. 

 

Langkah ini semata-mata agar masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan, menghindari ketertularan, menjaga agar diri, keluarga, dan lingkungannya agar tidak terinfeksi Covid-19 yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. Hendra menilai segala hal harus dikesampingkan demi melindungi kepentingan masyarakat. 

 

Secara tegas ia bahkan menilai semua norma hukum positif bisa dikesampingkan jika norma hukum positif itu justru memperlambat apalagi sampai menghambat upaya melindungi kepentingan masyarakat untuk menghindari penularan Covid-19, termasuk dan tidak terbatas pada informasi sumber penyakit yang sangat mudah menular tersebut.

 

"Menerapkan norma hukum yang terdapat UU yang dibuat untuk keadaan normal dalam situasi darurat seperti Pandemi Corona, hanya akan membawa musibah dan malapetaka bagi masyarakat dan negara, termasuk dan tidak terbatas menerapkan norma yang terdapat dalam UU Keterbukaan Informasi Publik yang melindungi data nama, alamat, dan rekam jejak kontak pasien Corona,” tegasnya.

 

Hendra tampaknya tidak sendirian, Senin (23/4) lalu, Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat menyurati Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Melalui surat yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat tersebut, KI Jawa Barat meminta agar Gubernur mempertimbangkan untuk bisa membuka data pasien positif Covid-19 kepada publik secara transparan dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Presiden. 

 

“Guna mendorong terlaksananya program penanggulangan dan pencegahan penyebaran Covid-19 oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat sehingga dimungkinkan untuk dapat memberikan informasi tambahan kepada masyarakat berkenan dengan riwayat perjalanan (tracking) pasien positif Covid-19 sebagai antisipasi dan menambah kewaspadaan dini masyarakat,” bunyi surat yang ditandatangani Ketua KI Jabar, Ijang Faisal. 

 

Wahyudi Djafar mengungkapkan di beberapa negara yang memiliki perangkat hukum Perlindungan Data Pribadi yang memadai, pembukaan informasi pasien Covid-19 dimungkinkan sepanjang hanya membuka rekam jejak lokasi yang pernah dikunjungi oleh pasien positif Covid-19. 

 

Tidak hanya itu, aspek lain yang juga harus diperhatikan adalah tahap pemrosesan data. Wahyudi menegaskan bahwa informasi data pasien yang dibuka tidak boleh menyertakan nama pasien sebagai bentuk identifikasi terhadap diri pasien. Menurut Wahyudi, aspek ini merupakan prinsip yang harus diperhatikan mengingat konsekuensi pengucilan secara sosial terhadap pasien Covid-19.

 

“Jadi kalau pemerintah mau membuka data pribadi pasien dan lokasi, itu harus dipastikan tidak sampai mengidentifikasi atau pasien ini. Jadi jangan sampai identitas yang positif Covid-19 itu terbuka atau diketahui publik,” tegas Wahyudi.

 

Wahyudi juga mengingatkan tentang keberadaan Pasal 17 h UU KIP yang mengklasifikasikan data pribadi sebagai informasi yang dikecualikan dalam informasi publik. Ia mengakui bahwa hingga saat ini masih terdapat banyak informasi terkait Covid-19 yang belum sepenuhnya tersampaikan kepada publik. Hal ini menjadi dasar munculnya beberapa gugatan terkait informasi Covid-19.

 

Menurut Wahyudi, terdapat problem regulasi yang tengah dihadapi pemerintah saat ini. Regulasi yang dibutuhkan untuk menghadapi situasi pandemi Covid-19 tidak cukup konprehensif memenuhi kebutuhan saat ini. Meskipun UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan telah ada, namun sejumlah aturan pelaksana dari UU dimaksud hingga saat ini belum juga diterbitkan. 

 

“Ini berbeda dengan negara-nagara lain seperti Korsel atau Singapura, aturannya relatif komprehensif,” terang Wahyudi. 

 

Ia mencontohkan Pasal 15 UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur tentang surveilens orang dalam situasi darurat. Hal ini hingga saat ini tidak bisa dilaksanakan karena hingga saat ini tidak ada peraturan teknis dari norma tersebut. Bagaimana surveilens dilakukan? Batasan-batasan yang harus diperhatikan. Kesemuanya masih belum diatur.

 

Problem selanjutnya menurut Wahyudi adalah terkait kesadaran publik tentang informasi pribadi. Bagaimana publik bisa memilah mana informasi yang harusnya mereka ketahui dan mana yang mereka tidak perlu tahu. Menurut Wahyudi, publik tidak perlu mengetahui siapa nama pasien positif Covid-19 berikut beberapa informasi lainnya. 

 

“Cukup dia mengetahui lokasi yang pernah dikunjungi pasien itu. Sehingga dalam rentang waktu tertentu dia mengisolasi diri gitu kan. Melaporkan ke institusi kesehatan misalnya ada indikasi dia mengarah ke terinfeksi virus itu kan. Levelnya itu aja informasi yang harus mereka ketahui,” urai Wahyudi.

 

Wahyudi menyayangkan ketidaksiapan pemerintah menyediakan dengan memadai informasi ini. Pihak yang dapat mengakses informasi terkait seperti pemerintah pun menurutnya belum mampu memberikan informasi yang bisa dipercaya dengan baik oleh publik.

 

“Misalnya begini, ada banyak informasi beredar. Kominfo itu kan hanya memberi stempel hoax atau tidak tanpa penjelasan lebih lanjut dan mengklarifikasi itu betul hoax,” tutup Wahyudi.

 

Tags:

Berita Terkait