KPPU Sebut Tiga Regulasi Picu Polemik Minyak Goreng
Utama

KPPU Sebut Tiga Regulasi Picu Polemik Minyak Goreng

Semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan dapat mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi vertikal.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan untuk melanjutkan permasalahan minyak goreng ke ranah penegakan hukum. Dari hasil penelitian KPPU menunjukkan sinyal-sinyal terkait kesalahan kebijakan Pemerintah atau terdapat perilaku antipersaingan oleh pelaku usaha yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.

Selain adanya dugaan pelanggaran atas UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, nyatanya KPPU juga melakukan analisis terhadap regulasi. Temuannya, terdapat beberapa regulasi yang dinilai menjadi pemicu dan berpotensi terjadinya polemik minyak goreng.

Pertama, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Berusaha Perkebunan yang mempengaruhi persaingan usaha di industri minyak goreng. (Baca: Polemik Minyak Goreng, Negara Dinilai Tak Punya Kendali Penuh di Industri Minyak Goreng)

Menurut Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Permentan 21/2017 yang mewajibkan industri pengolahan hasil perkebunan termasuk minyak goreng memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri dapat mengurangi persaingan (lessening competition).

“KPPU sendiri telah mengirimkan surat saran pertimbangan agar kebijakan ini dicabut karena akan mengurangi persaingan,” kata Mulyawan, Kamis (17/2).

Kedua, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No.46 Tahun 2019 tentang Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia Minyak Goreng Sawit Secara Wajib. Dalam Permenperin tersebut mewajibkan SNI dan kandungan vitamin A dalam minyak goreng. Hal ini dinilai menjadi hambatan munculnya pelaku usaha baru, baik pelaku usaha lokal atau skala kecil dan menengah dalam indsutri minyak goreng.

Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan. Permendag ini mengatur bahwa minyak goreng dalam bentuk curah hanya boleh beredar di pasar sampai 31 Desember 2021 dan setelahnya harus dalam kemasan.

Pemberlakukan larangan minyak goreng curah memang mengalami penundaan. Namun demikian jika aturan ini resmi berlaku, berpotensi menguntungkan pelaku usaha besar dan menimbulkan entry barrier baru.

Atas temuan tersebut, Mulyawan mengatakan KPPU telah menyurati pemerintah dan memberi saran serta pertimbangan untuk mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk pelaku usaha baru di industri minyak goreng.

“Dengan semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan dapat mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi vertical,” jelas Mulyawan. Kemudian untuk menjamin pasokan CPO perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dan CPO untuk menjamin harga dan pasokan.

Sebelumnya Anggota Komisi VI DPR Amin Ak meminta Satgas Pangan mesti bergerak cepat menindaklanjuti temuan Ombudsman RI. Dia melihat Satgas Pangan terkesan lamban mengatasi kesulitan masyarakat membeli minyak goreng dengan harga eceran.

Padahal, kekacauan distribusi hingga menyebabkan kelangkaan stok di pasaran sudah terjadi sejak pertengahan Januari lalu setelah pemerintah meluncurkan kebijakan minyak goreng satu harga.

“Jika terbukti ada penimbunan, langkah hukum tidak bisa lagi ditawar,” ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (10/2).

Dia mendorong Satgas Pangan membongkar dalang dari kelangkaan stok minyak goreng di masyarakat. Terpenting, Satgas Pangan harus mengimplementasikan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit.

Tags:

Berita Terkait