Polemik Permendagri SKP Dinilai Bukti Buruknya Pengelolaan Peraturan
Berita

Polemik Permendagri SKP Dinilai Bukti Buruknya Pengelolaan Peraturan

​​​​​​​Seharusnya pendaftaran SKP bukan di Kemendagri, tapi kementerian sektoral yang erat kaitannya dengan data-data yang akan diteliti.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Pembatalan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo menunjukkan banyak persoalan yang menyelimuti kementerian tersebut. Mendagri Tjahyo sebelumnya menyatakan mencabut Permendagri No. 3 Tahun 2018 dan mengembalikan ke peraturan yang lama yakni Permendagri No. 7 Tahun 2014. Aturan lama ini rencananya akan direvisi.

 

Hal itu diutarakan oleh peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri. Menurutnya, langkah ini menunjukkan bahwa penyusunan peraturan di lingkungan Kemendagri tidak dilakukan secara matang. “Padahal aturan ini dikeluaran oleh Menteri dan sudah masuk dalam berita negara. Namun, ingin dilakukan revisi dan kembali pada aturan yang lama. Sehingga, Permendagri ini memang bermasalah. Dimungkinkan juga Permendagri ini tidak partisipatif dan transparan,” kata Ronald kepada Hukumonline, Rabu (7/2).

 

Ia mengira, tindakan Kemendagri ini merupakan bentuk responsif terkait keberadaan aturan yang menimbulkan polemik di masyarakat. Namun di sisi lain, ia mempertanyakan alasan kenapa Kemendagri yang menerbitkan peraturan tentang penelitian. “Mengapa tidak kementerian lain yang memang benar-benar memiliki kaitan dengan penelitian yang akan diriset,” ujarnya.

 

Menurut Ronald, seharusnya pendaftaran SKP bukan berada di wilayah Kemendagri. Melainkan kementerian sektoral yang erat kaitannya dengan data-data yang akan diteliti. “Karena Kemendagri ini cenderung yang diterapkan dalam politik dan keamanan, jadi tidak nyambung, tidak relevan masuk ke dalam ranah penelitian, pemanfataannya tidak jelas dan bukan kewenangan Kemendagri untuk menjalankannya,” terangnya.

 

Seharusnya, ia menyarankan, aturan mengenai penelitian dilakukan dengan pendekatan teknis dan non teknis untuk menciptakan stimulus. Sebab, saat ini dalam praktik penelitian yang berkembang tidak seperti dahulu definisinya yang terlalu baku. Dalam praktik, penelitian juga bisa terkait riset untuk kepentingan pasar hingga kepentingan caleg yang ingin maju Pilkada.

 

“Sekali lagi bukan tentang pendekatan politik dan keamanan yang diterapkan dalam Kemendagri. Tapi, kementerian terkait,” kata Ronald.

 

Senada, Peneliti Senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, sikap Kemendagri ini memperlihatkan adanya ketidaksiapan dalam membuat aturan SKP untuk penelitian. Akibatnya, pengelolaan penyusunan perundang-undangan di lingkungan Kemendagri patut dipertanyakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait