Selisih nilai tagihan itu, jelas Triangga, berasal dari kewajiban pembayaran dan/atau pemotongan pajak atas pembayaran terhadap tagihan-tagihan pemohon PKPU yang terdiri atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penghasilan (PPn). Sehingga dengan bukti pembayaran pajak itu, utang pajak tertunggak dinyatakan tidak ada dan tidak relevan.
Kemudian, sebelum pengajuan pembatalan putusan PKPU, Triangga menyebutkan PN Makassar sempat mengadakan rapat kreditur pertama. Agenda rapat selanjutnya harusnya pra-verifikasi tagihan dengan 500 tagihan atau kreditur. Namun belum sempat masuk pada tahap tersebut, PT PP menerima surat dari kreditur yang meminta PKPU PT PP dibatalkan. Alhasil, dengan mempertimbangkan suara kreditur, PT PP mengajukan pembatalan PKPU, sebelum PKPU Sementara berakhir pada 12 Oktober.
“Belum ada (daftar piutang tetap), cuma rapat kreditur pertama,” jelas Triangga.
Merespon pencabutan tersebut, Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Imran Nating menilai debitur berhak mengajukan pembatalan PKPU sebagaimana diatur dalam UU 37/2004. Khususnya Pasal 259 ayat (1) yang menyebutkan, “Debitor setiap waktu dapat memohon kepada Pengadilan agar penundaan kewajiban pembayaran utang dicabut, dengan alasan bahwa harta Debitor memungkinkan dimulainya pembayaran kembali dengan ketentuan bahwa pengurus dan Kreditor harus dipanggil dan didengar sepatutnya sebelum putusan diucapkan”.
Sedangkan Pasal 259 ayat (2) menyebutkan, “Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh juru sita dengan surat dinas tercatat, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang Pengadilan”. Merujuk Pasal 259 itu, dalam hal pencabutan PKPU, Imran mengingatkan sebelum hakim mengabulkan permohonan pembatalan PKPU, ada ketentuan di mana pengurus harus memanggil dan meminta persetujuan kepada kreditur.
Namun, dalam kasus pencabutan PKPU PT PP, apakah syarat tersebut sudah terpenuhi? Dia menegaskan kreditur bakal muncul setelah pengurus melakukan rapat pencocokan piutang, mengeluarkan Daftar Piutang Tetap (DPT) yang berisi nama kreditur, besaran tagihan, dan sifat tagihan.
“Karena perkara sudah selesai, saya sudah bisa komentar. Pertama, proses PKPU PT PP ini sudah ada krediturnya belum? Belum ada. Kedua, di ayat berikutnya menyatakan bahwa proses menanyakan di atas itu, juru sita pengadilan harus memanggil para kreditur. Saya nggak tahu proses sidang ini ada nggak juru sita memanggil para keditur? Secara hukum, secara teori saya pastikan tidak ada kreditur yang dipanggil. Saya enggak tahu faktanya kalau juru sita ada yang memanggil. Kenapa saya katakan secara hukum tidak ada yang memanggil, karena kreditur sebuah proses PKPU itu baru ada ketika pengurus melakukan pencocokan piutang. Nah, ini jangankan daftar piutang, pencocokan aja belum ada. Terus kreditur yang menyetujui pencabutan itu siapa?” jelas Imran.
Bagi Imran, verfikasi kreditur penting dilakukan untuk memastikan jumlah piutang. Jika tak ada verifikasi, maka konsekuensi hukumnya akan mempengaruhi jumlah hak suara. Terlepas dari pro dan kontra PKPU PT PP, Imran meminta semua pihak harus menghormati putusan majelis hakim. Dia berharap hakim memiliki pertimbangan lain seperti adanya kepentingan yang lebih besar, sehingga harus mengabulkan permohonan pencabutan PKPU tersebut.