Polemik Tuntutan Hukuman Mati Terhadap Kejahatan Seksual
Terbaru

Polemik Tuntutan Hukuman Mati Terhadap Kejahatan Seksual

Realitanya, hukuman mati masih diakui dalam hukum positif. Bahkan ditegaskan dalam putusan MK No.2 dan 3/ PUU-V/2007.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Dengan alasan tersebut, menurutnya menjadi sulit menerima penolakan Komnas HAM yang notabene institusi atau komisi negara yang menentang hukuman mati yang masih menjadi hukum positif di Indonesia. Bahkan konstitusionalitas hukuman mati ditegaskan oleh MK sebagai lembaga negara yang berwenang menguji UU terhadap UUD Tahun 1945.

Jika yang disampaikan itu pendapat pribadi komisioner Komnas HAM sebagai penggiat HAM tentu kita hormati. Selain itu, jika pandangan itu disampaikan dalam rangka ius constituendum bagi pembentuk UU juga dipersilakan,” kata dia mengingatkan.

Namun bila perspektif yang masih menjadi hukum positif disuguhkan menjadi pendapat komisi negara, hal ini menjadi pertanyaan. “Bagaimana sebuah institusi negara menafikan hukum positif yang konstitusionalitasnya sudah ditegaskan oleh lembaga negara yang berwenang,” kata politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Anggota Komisi III DPR Habiburokhman berpandangan penolakan Komnas HAM terhadap hukuman mati pelaku rudapaksa santriwati di Bandung seolah mengabaikan hak asasi korban. Dia menilai Komnas HAM tak perlu terlampau keras menentang hukuman mati. Dikhawatirkan dapat mencederai hak asasi korban dibandingkan hak pelaku kekerasan seksual.

Politisi Partai Gerindra itu khawatir pandangan Komnas HAM terhadap tuntutan hukuman mati bagi Herry Wiryawan malah membuat citra lembaga perlindungan hak asasi manusia itu meredup. “Jangan terlampau membabi buta menentang hukuman mati. Kalau saya dalam posisi menyetujui hukuman mati,” katanya.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menuntut Herry Wirawan Herry dengan hukuman mati serta kebiri kimia dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider satu tahun kurungan. Selain itu mewajibkan Herry membayar restitusi kepada anak-anak korban yang totalnya sebesar Rp300 juta.

Dalam rekuisitornya, jaksa menilai terdakwa Herry Wirawan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) jo Pasal 76D UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Tags:

Berita Terkait