Politisi Partai Gerindra 'Gugat' Ambang Batas Pencalonan Presiden
Terbaru

Politisi Partai Gerindra 'Gugat' Ambang Batas Pencalonan Presiden

Salah satu materi perbaikan permohonan, memuat perbandingan dengan negara lain. Misalnya, dari puluhan negara itu tak ada satu pun yang menerapkan presidential threshold dalam pencalonan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Politisi Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono memperbaiki permohonan pengujian materil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait ambang atas pencalonan presiden (presidential threshold). Perbaikan permohonan ini disampaikan kuasa hukumnya, Refly Harun dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/1/2022) kemarin. Sidang Panel dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

“Kami sudah membuat permohonan ini berkembang menjadi 59 halaman dari sebelumnya 24 halaman. Pertama yang kami lengkapi adalah soal legal standing… Pada legal standing kami masukkan juga hak untuk dipilih. Walaupun Saudara Ferry Joko Yuliantono, barangkali belum menunjukkan minatnya untuk mencalon presiden, tapi sebagai sebuah hak konstitusional kami tetap memasukkan juga hak untuk dipilih,” ungkap Refly dalam persidangan secara daring, seperti dikutip laman MK.

Dalam kesempatan ini, Refly menyampaikan pihaknya menemukan 22 permohonan yang terkait dengan pengujian tentang presidential threshold. “Selain itu, kami melengkapi argumentasi dalam pokok permohonan dengan berusaha semaksimal mungkin melakukan perbandingan. Kami menemukan misalnya, puluhan negara yang kami lihat itu tak ada satu pun yang menerapkan presidential threshold dalam pencalonan,” ujar Refly.

Dalam persidangan sebelumnya, Ferry Joko Yuliantono selaku Pemohon Perkara 66/PUU-XIX/2021 memohon pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Menurut Ferry, hak memilih (right to vote) adalah hak konstitusional yang merupakan turunan dari hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (right to participate in government) sebagaimana dijamin Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebanyak paling sedikit perolehan kursi 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya telah terbukti mengurangi atau membatasi hak konstitusional untuk memilih (right to vote) Pemohon dalam pemilihan presiden/wakil presiden (karena kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden diusung partai besar, red). Oleh karenanya hal ini harus dipandang sebagai sebuah kerugian konstitusional.

Pemohon beranggapan tidak benar masalah ambang batas presiden hanya terkait dengan eksistensi partai politik. Meskipun hanya partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum atau diamanatkan dalam Pasal 6A ayat (2) Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945.

Tags:

Berita Terkait