Polri Seharusnya Melarang dan Mencegah Arogansi Aparat
Berita

Polri Seharusnya Melarang dan Mencegah Arogansi Aparat

Pencabutan poin larangan Kapolri larangan media menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan dinilai sudah tepat. Polri diimbau tidak lagi membuat kebijakan yang kontraproduktif dengan UU dan nilai-nilai presisi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Kadiv Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono (tengah) saat menggelar konferensi pers. Foto: RES
Kadiv Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono (tengah) saat menggelar konferensi pers. Foto: RES

Dosen Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengapresiasi pencabutan Surat Telegram Kapolri bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 5 April 2021, khususnya poin yang memuat larangan media menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.  

Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang mencabut poin larangan media menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan sudah tepat. Karena yang terpenting Polri bukan melarang penyiaran arogansi, tapi melarang dan mencegah arogansi aparat,” ujar Suparji Ahmad dalam keterangannya, Selasa (6/4/2021). (Baca Juga: Dikritik, Polri Cabut Poin Larangan Media Siarkan Arogansi Aparat)

Baginya, olah tempat kejadian perkara tetap dapat disiarkan oleh jurnalis sepanjang tidak mengganggu proses penegakan hukum yang berjalan. Sebab, publik berhak mendapat informasi terkait proses penegakan hukum. Terlebih, keterbukaan informasi menjadi bagian pentinga dalam menjalankan prinsip transparansi di tubuh Korps Bhayangkara.

Suparji mengingatkan agar Kepolisian teliti dan cermat dalam membuat kebijakan agar tak menabrak aturan atau UU yang berlaku dan sesuai konsep Presisi. “Kebijakan jangan sampai kontraproduktif dengan nilai-nilai presisi,” kata dia.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti melihat Surat Telegram No. ST/750/IV/HUM/3.4.5/2021 diperuntukan bagi internal Polri. Tapi, malah berdampak terhadap ekternal, khususnya profesi jurnalis sebagai pekerja media pers. Dia menilai Surat Telegram tersebut terdapat poin untuk menjaga prinsip asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Yakni dalam rangka melindungi korban kasus kekerasan seksual, melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan, serta ada pula melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi trial by the press.

Diakui Poengky, terdapat poin pertama tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi. Dia menilai profesi jurnalis dalam meliput tindakan kekerasan ataupun arogansi anggota kepolisian malah membatasi kebebasan pers. “Ini menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik,” kata Poengky dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (6/4/2021).

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai pencabutan Surat Telegram ST/750/IV/ HUM/3.4.5/2021 sudah tepat. Sebab, bila dibiarkan keberlakuan Surat Telegram tersebut malah bakal menimbulkan polemik. Seperti pada bagian pertama Surat Telegram ST/750/IV/ HUM/3.4.5/2021 yang menghalangi publik mengetahui fakta sesungguhnya.

Tags:

Berita Terkait