Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan produk hukum. Sebagai produk hukum, rasanya ia tak akan lahir tanpa sentuhan ‘orang hukum’. Mustahil ia terbit, tanpa back-up para pemikir dan intelektual, ilmu hukum utamanya. Sebelum Perppu ditetapkan, sederet proses dan instrumen teknokratik sudah pasti dibentangkan. Di proses itu, sejumlah intelektual hukum pasti dilibatkan ikut bekerja.
Mereka diminta membangun konstruksi, logika, dan argumentasi hukum bagi Perppu. Apalagi sejak awal sudah ada prediksi bahwa kritik atas terbitnya Perppu pasti akan datang dengan deras. Maka, perisai argumentasi hukum harus sudah tersedia. Hingga akhirnya, 30 Desember 2022, nyali dan keyakinan Presiden Joko Widodo betul-betul cukup terkumpul untuk menandatangani Perppu.
Beda Respon dan Pandangan
Dus, begitu Perppu diteken, benar. Langsung disambut gemuruh gaduh. Grup Whatssap kita segera ramai: isinya baku komen. Di media sosial, agak lebih vulgar dan sangar. Para kolumnis sibuk menulis dan mengirim artikel. Dimana-mana webinar digelar. Ruang publik berisik oleh pembilahan opini, antara yang pro (setuju) dan yang kontra (menentang) Perppu.
Baca juga:
- Menaker: Perppu Cipta Kerja Sempurnakan 5 Substansi Ketenagakerjaan
- Poin Penting yang Menjadi Sorotan dalam Perppu Cipta Kerja
- MK Diminta Segera Jadwalkan Pengujian Perppu Cipta Kerja
Di bilahan pertama, seperti umumnya orang bersetuju, isinya lebih ke puja-puji semanis madu. Dikatakan, Perppu sudah sesuai prosedur. Perppu ini merupakan langkah luar biasa Presiden. Sebuah reformasi struktural bijaksana merespon kegentingan memaksa berupa fenomena stagflasi. Perppu ini akan memberi kepastian iklim investasi. Tanpa sungkan menyebut Perppu ini langkah tepat dalam melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Bahkan, Perppu ini cara selamatkan Putusan MK. Dan lain-lain ragam retorika beresensi persetujuan.
Di bilah lain, barisan penentang lantang bersuara cadas. Perppu ini keliru, jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicarikan alasan pembenar oleh sarjana tukang stempel. Perppu ini dibuat tanpa kegentingan yang memaksa. Perppu ini cara culas mengakali aturan main. Perppu ini merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap UUD 1945, karena menggugurkan Putusan MK, yang bahkan potensial diarahkan ke pemakzulan Presiden. Dan, pendapat kontra lain-lain.
Pro-kontra menyangkut kebijakan, itu wajar. Sangat wajar. Tak mengherankan. Kebijakan, apapun itu, tak dapat memuaskan semua orang. Akan ada saja orang merasa keberatan. Jadilah ia menentang atau melawan. Begitu juga dengan Perppu ini. Namun, saya tak membahas proses atau substansi Perppu. Tak ingin ikut tenggelam dalam pro-kontra. Di balik terbitnya Perpu, ada gurat pikir para intelektual hukum. Pun demikian, di antara para kritikus Perppu, intelektual hukum lainnya berdiri. Di kedua bilah, para intelektual hukum sama-sama berada. Namun dengan standing berhadap-hadapan karena berbeda secara diametral. Jadi justru yang menarik ialah menyigi wajah pro-kontra pandangan di antara intelektual hukum itu sendiri.