Posisi Intelektual Hukum dalam Polemik Perppu Cipta Kerja
Kolom

Posisi Intelektual Hukum dalam Polemik Perppu Cipta Kerja

Perppu ini menjadi bukti betapa pertarungan pandangan antar-intelektual hukum itu nyata.

Bacaan 6 Menit

Dua bilahan itu menampilkan raut kontroversial pilihan sikap para intelektual hukum dalam merefleksi dan memproyeksikan disiplin ilmunya di ranah persoalan aktual. Pada saat bersamaan, bilahan itu menggambarkan kompleksitas dan sifat saling mengunci (interlocking) di antara kekuasaan, intelektual, dan ilmu pengetahuan. Sebuah kompleksitas yang tak gampang diurai.

Dalam dunia intelektual, perbedaan bukan hal aneh. Tidak terkecuali dalam ilmu hukum. Beda mazhab hukum, apakah antar person intelektual, atau antar kampus, bisa memijarkan api abadi tegangan sepanjang masa. Di aras ontologi, saling mengolok antara pandangan penganut mazhab positivisme dengan penganut naturalisme. Pemikiran pendaku rasionalisme dan pendukung empirisme saling sikut di aras epistemologi. Sementara, pendapat pengikut formalisme dan pengikut realisme di aras etika, acapkali di-adubanteng begitu rupa.

Perbedaan semacam itu yang kiranya berkontribusi memproduksi respon dan pandangan berbeda para intelektual hukum terhadap Perppu Cipta Kerja. Padahal, misalnya ini, dalam filsafat pragmatisme Brian Z. Tamanaha (2018), tegangan antar mazhab dapat dicermati secara kritis, lalu dipindai untuk merumuskan formula baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara konseptual dan bermanfaat secara praktis.

Pandangan atau tafsir terhadap hukum mirip-mirip dengan proses dan pilihan politik, yaitu sebagai the art of the possible. Selalu berkompromi. Ada negosiasi dan justifikasi. Bahkan mohon maaf, ada hipokrisi. Kalau mau jujur, segala sesuatu pastilah dilatari oleh kepentingan. Apa dan kemana titik kepentingan dituju, di situlah rute pandangan dapat diarahkan. Kepentingan apapun, apakah itu tujuan ideal, misalnya untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat, atau sebaliknya, untuk kepentingan pragmatis lainnya, semua dapat dicarikan sandaran teoritis dan argumentasi hukum untuk menguatkan ‘kebenaran’ yang dikehendaki.

Namun perlu diingat, dalam kebenaran itu sendiri, berlaku perspektivisme. Artinya, kebenaran selamanya ditangkap dan diungkapkan dari perspektif tertentu. Seperti ditulis Goenawan Mohammad (2020), “tiap ‘kebenaran’ yang aku utarakan berkaitan dengan posisi tubuhku, suasana tempat, dan waktuku. Dengan kata lain, kebenaranku tak mutlak, hingga semua orang tak niscaya, tak harus, mengikutinya”.

Refleksi Posisi Intelektual

Perppu ini evidence betapa pertarungan pandangan antar-intelektual hukum itu nyata. Tak masalah andaikan pertarungan itu berbasis makna definitif intelektual, yaitu akademisi yang punya kemampuan berpikir bebas, memiliki kearifan bertindak, serta aktif dalam proses produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan. Tetapi nampaknya itu belum atau tak terlihat sepenuhnya demikian. Dalam rabaan Penulis, beda pandangan ini sangat mungkin berhubungan erat dengan posisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan.

Pernah disinggung Cornelis Lay (2019) dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM, menyangkut posisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan, intelektual seolah-olah dihadapkan hanya pada dua pilihan jalan, jalan yang saling meniadakan. Pertama, mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan. Kedua, hal sebaliknya, menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait