Posisi Intelektual Hukum dalam Polemik Perppu Cipta Kerja
Kolom

Posisi Intelektual Hukum dalam Polemik Perppu Cipta Kerja

Perppu ini menjadi bukti betapa pertarungan pandangan antar-intelektual hukum itu nyata.

Bacaan 6 Menit

Saya dan mungkin kita, berhak khawatir, pro-kontra Perppu Cipta Kerja yang menyembul sekarang ini lahir atas konsekuensi dari dua pilihan jalan itu. Masing-masing sikap dan pilihan jalan memiliki motif dan kepentingannya sendiri. Karena itu pula, pandangan yang diutarakan memuat perspektif ‘kebenaran’ yang didasari pula oleh motif dan kepentingannya. Para intelektual hukum yang memback-up atau mendukung Perppu bukan tidak mungkin adalah mereka yang saat ini sedang memposisikan diri menjadi bagian, atau setidaknya, mendekati kekuasaan. Apapun ceritanya, sulit menampik bahwa perspektif yang dibangun dan dikembangkan, sedikit atau banyak akan ditentukan oleh faktor posisi eksisting atau proyeksi incaran.

Meminjam pernyataan Heru Nugroho (2012), tugas utama para intelektual semacam itu, yang terlibat dalam instrumen teknokratis yang diminta oleh kekuasaan, pemikirannya tidak lagi sepenuhnya berbasis intelektual-akademis. Mereka menggunakan alat-alat akademik untuk kepentingan ekonomi-politik kekuasaan. Alih-alih memberikan eksplanasi kritis-reflektif, intelektual model seperti ini cenderung memberikan pembelaan secara defensif kepentingan pihak yang memberinya posisi tertentu dalam kekuasaan. Bahkan sambil terus mendapuk diri sebagai intelektual yang masih dan tetap netral, independen, serta profesional. Dalam hal ini, wacana relasi intelektual dan kekuasaan dibangun di atas sikap pemujaan atas dan penaklukan diri pada kekuasaan yang menempatkannya sebagai ruang nyaman bagi intelektual.

Sebaliknya, intelektual hukum yang menempuh pilihan jalan kedua, yang dalam hal ini berdiri di barisan pengkritik Perppu, belum tentu pandangannya murni selalu berpijak obyektif mendasarkan pada logika intelektual-akademik. Walau tak semua, banyak intelektual terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan. Cukup sering dijumpai betapa seorang intelektual menjadi ‘oposisi’ paling gigih dari kekuasaan yang pernah didukungnya hanya karena alasan sederhana: terdepak atau pemikiran dan usulannya tidak diakomodasi.

Tidak sedikit intelektual bersuara keras dan mengklaim diri berada di tengah-tengah rakyat, bisa mewakili kepentingan rakyat, lewat banyak retorika intelektualnya. Padahal diam-diam, tujuan sesungguhnya ialah ‘caper’ alias agar mendapat atensi, untuk kemudian menanti ajakan masuk, baik secara pemikiran atau in-persona, ke dalam posisi tertentu di lingkar kekuasaan.

Akhirnya makin dipahamkan, tawaran jalan ketiga posisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan, di luar kedua pilihan jalan itu, yaitu intelektual bisa masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya, betapapun keren dan ideal, tetapi terjal dan tidak mudah diwujudkan. Ia menuntut kematangan, kepekaan, dan kapasitas dalam menilai segenap dinamika hukum dan politik yang terjadi dan berkembang dengan senantiasa berjejak dari kosmologi bangsa dan arah tujuan negara sebagaimana yang melingkupi UUD 1945.

Sekadar bersetuju dan menggarisbawahi tulisan Prof. Lay, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Bisa?

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar FH Universitas Brawijaya/Pengurus Pusat APHTN-HAN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait