Potensi Hapus Hak Rakyat Atas Tanah, 6 Alasan KPA Desak Perpres 78/2023 Dicabut
Terbaru

Potensi Hapus Hak Rakyat Atas Tanah, 6 Alasan KPA Desak Perpres 78/2023 Dicabut

Pengadaan tanah tak perlu regulasi baru karena bisa menggunakan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum beserta aturan turunannya.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Kemudian menguasai dan memanfaatkan tanah dengan itikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat, diakui dan dibenarkan oleh pemilik hak atas tanah dan/atau lurah/kepala desa setempat. Berbeda jauh dengan perlakuan terhadap investor melalui pemberian puluhan juta hektar tanah-tanah maha luas dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Hutan Tanaman Industri (HTI), HPL, ijin tambang, dll, kepada segelintir badan usaha.

Sudah ada UU 2/2012

Kelima, Perpres 78/2023 menurut Dewi tidak diperlukan, hanya menghamburkan uang negara, memperparah karut-marut hukum, tumpang tindih dan inkonsisten dengan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kebutuhan pemerintah mendapat tanah untuk pembangunan bisa menggunakan UU 2/2012 dan peraturan turunannya. Apalagi UU 2/2012 sudah diubah sejumlah pasal demi kepentingan investasi melalui UU No.6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.

Perpres 78/2023 menunjukan kebijakan pemerintah yang inkonsisten dengan menggunakan istilah ‘penyediaan tanah’, seolah berbeda dengan istilah ‘pengadaan tanah’ dalam UU 2/2012. Padahal Pasal 1 ayat (2) Perpres menyatakan penyediaan tanah adalah pengadaan tanah. Artinya, Perpres mengatur hal yang sama dengan regulasi lainnya, menggunakan istilah berbeda-beda.

“Lantas, mengapa membuat regulasi baru?. Sebuah penghamburan anggaran untuk urusan penyediaan tanah yang sudah ada instrumen hukumnya, lebih-lebih makin melahirkan karut marut hukum agraria,” tegasnya.

Keenam, Dewi melihat semula perpres memberikan kewenangan kepada gubernur untuk membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan, disingkat Tim Terpadu sebagaimana Pasal 8 Perpres. Selanjutnya soal kewenangan perpres ini mengatur sedemikian rupa agar pasal-pasalnya sesuai dengan kebutuhan spesifik eksekusi PSN Rempang.

Perpres menyatakan kerja Tim Terpadu di bawah Gubernur harus berdasarkan rapat yang dikoordinasi Kemenko Bidang Perekonomian. Padahal, urusan pengadaan/penyediaan tanah seharusnya di bawah jurisdiksi Kementerian ATR/BPN. Guna memuluskan eksekusi PSN Rempang Ecocity, perpres memberikan pintu pengecualian sebagai strategy exit lainnya, yakni disebut ‘pendelegasian kewenangan’. Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan kepada wali kota, dengan alasan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain sebagaimana Pasal 12 Perpres.

Strategy exit ketiga, semakin nyata kepentingan PSN Rempang Ecocity; dalam hal Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan berlokasi di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, kewenangan gubernur dalam Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan diberikan kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

“Pasal ini semakin jelas memperlihatkan kepentingan khusus perpres terkait Proyek Rempang Ecocity. Mengapa demikian? Sebab, selain Bintan dan Karimun, Batam masuk ke dalam ketegori Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB/free trade zone),” papar Dewi.

Mengingat kualitas produk hukum agraria di Indonesia terkait pertanahan, pertambangan, pertanian dan pangan mengalami kemunduran, Dewi menolak Perpres 78/2023. Presiden RI harus mencabut Perpres itu dan kembali pada sila kelima Pancasila, UUD RI Tahun 1945 dan UU 5/1960. Dia juga mengecam DPR karena tidak menjalankan fungsi pengawasan. Harusnya DPR memastikan seluruh tanah dan kekayaan alam di Indonesia dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

“Tanah bukan dimiliki pemerintah sebagai kekuasaan absolut, dan tidak untuk diobral kepada segelintir kelompok badan usaha/korporasi dan pengusaha,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait