Hal tersebut berarti dalam “rezim” kepailitan dalam UU Kepailitan dan PKPU telah jelas diatur sarananya. Disebutkan bahwa kurator tetap diakui tindakannya sah dan mengikat walaupun dalam putusan kasasinya putusan pailit terhadap debitur tersebut dibatalkan. Dengan demikian, ia menilai seharusnya perihal (mekanisme eksekusi) putusan PKPU diterapkan hal yang sama agar tidak terjadi permasalahan yang timbul akibat putusan MK tersebut.
“Kan tujuan PKPU ini untuk melakukan perdamaian. Nah, kita tidak tahu kapan putusnya. Berapa lama putusan kasasi terhadap putusan PKPU itu. Apakah 3 bulan, 4 bulan? Jangan-jangan ketika PKPU-nya berjalan sudah selesai baru keluar putusannya membatalkan PKPU? Lalu bagaimana tindakan-tindakan sebelumnya? Banyak potensi masalah yang akan terjadi.”
Alhasil, dari aturan hukum yang dipandang belum jelas itu hanya akan mengorbankan para kreditur ataupun debitur. Bukan hanya pelaku usaha swasta, tetapi dampaknya cukup luas hingga pelaku usaha sektor BUMN yang sering menjadi pihak dalam proses PKPU atau kepailitan dapat terseret menjadi korban.
Para pemohon berharap permohonan ini dapat dikabulkan. Sebab, permohonan tersebut dianggap cukup krusial dalam praktik penanganan perkara kepailitan atau PKPU di pengadilan. PKPU ini marwahnya adalah perdamaian antara kreditur dengan debitur terkait hutang piutang agar dapat terselesaikan.
“Tapi kalau aturan hukumnya ada yang abu-abu, maka ini akan menyulitkan dalam penerapannya di lapangan. Selanjutnya, kita masih menunggu panggilan untuk sidang pertama,” katanya.