Aliansi masyarakat yang mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap memasukkan instrumen Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) di dalam Peraturan KPU.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR dan pemerintah Senin lalu, KPU menyebut akan menghapuskan LPSDK karena tidak secara eksplisit diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Padahal kewajiban lapor LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014. Untuk skala nasional, peserta Pemilu 2019 pun diberikan kewajiban ini meski UU tersebut sudah diundangkan. Sebagai alternatif, KPU akan mendorong peserta pemilu untuk memperbarui informasi terkait penerimaan dan pengeluaran dana kampanye melalui aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam).
Baca Juga:
- 144 Organisasi Masyarakat Desak KPU Tetap Masukkan LPSDK ke Peraturan KPU
- Menanti Komitmen KPU Merevisi PKPU Pencalonan Anggota Legislatif
Uang dalam politik memiliki peran dan fungsi yang penting untuk dipahami, bagaimana uang dimanfaatkan oleh para calon dalam pemilu untuk mendapatkan pengaruh dan diubah menjadi sumber daya dalam bentuk lain yang dapat digunakan bersamaan dengan sumber daya lain untuk mencapai kekuasaan politik yang juga berpeluang melibatkan dan berimplikasi pada kelompok rentan yaitu, perempuan, anak, lansia, disabilitas, komunitas adat, dan lainnya.
“Penghapusan kewajiban peserta Pemilu 2024 menyusun dan melaporkan LPSDK, jelas berpotensi merugikan pemilih, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti pemilih pemula, lansia, disabilitas, komunitas adat, serta melemahkan semangat antikorupsi,” ujar Valentina Sagala selaku salah satu perwakilan Aliansi Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas, Selasa (6/6).
Perubahan mengenai aturan ini bertentangan dengan semangat menciptakan keteraturan aturan Pemilu dan mencoreng rekam jejak KPU yang selama ini dinilai berintegritas sebagai penyelenggara Pemilu.