Potensi Persinggungan Kewenangan Ombudsman dengan Badan Peradilan
Kolom

Potensi Persinggungan Kewenangan Ombudsman dengan Badan Peradilan

​​​​​​​Oleh karena itu perlu diantisipasi mekanisme pembagian peran dan fungsi antar masing-masing lembaga yang memiliki kesamaan misi mewujudkan tatanan administrative justice dalam sistem hukum nasional.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam persfektif negara hukum, patut dikritisi apakah Peraturan Ombudsman RI No. 31 Tahun 2018 ini sudah selaras dengan UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)?

 

Indonesia sebagai negara yang terikat dengan kovenan tersebut wajib menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan hak-hak hukum harus ditentukan hak-haknya itu selain oleh lembaga administratif, legislatif atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum negara, namun tetap mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian melalui lembaga peradilan. Intinya tidak boleh ada kekuasaan ekstra yudisial yang membatasi pengajuan upaya hukum warga masyarakat ke lembaga pengadilan.

 

Ancaman Ketidapastian Hukum

Dalam tradisi hukum civil law, penilaian Ombudsman atas ada tidaknya perbuatan maladministrasi berpatokan kepada parameter prinsip-prinsip kelayakan (propriety, behoorlijkheid) yang sejajar dengan parameterprinsip-prinsip kewajaran (reasonabless) dalam tradisihukum common law.

 

Kaidah semacam ini menjadi dasar bagi Ombudsman di Belanda untuk mencegah dirinya memasuki penilaian segi-segi legalitas suatu keputusan yang akan bermuara kepada pertanggung-jawaban jabatan (faute de service). Orientasi pengawasan Ombudsman bukanlah menentukan pertanggung-jawaban hukum (legal liability) seperti halnya masalah penentuan ganti rugi yang dalam praksis hukum merupakan kewenangan badan-badan peradilan.

 

Dalam ungkapan Prof. Gio ten Berge dan Philip M. Langbroek (2005: 111) disebutkan: “Ombudsman is not able to conduct any legal act as a response to complaints”.Secara universal acuan pengawasan Ombudsman adalah aspek lahiriah (actual conduct) para penyelenggara layanan publik, dalam kerangka merit review bukan legal review (Henk Addink, 2005: 284).

 

Atau dalam ungkapan lain, fokusnya adalah menilai bagaimana seharusnya aparatur pemerintahan bertindak sebagai pelayan warga: apakah masyarakat diperlakukan sebagai subjek pelayanan atau sebagai objek/korban pelayanan (Antonius Sujata, 2005: 15).

 

Persisnya menyangkut bagaimana implementasi kebijakan pemerintah sehari-hari, dalam lingkup permasalahan menyangkut ‘keluhan ringan’ (minor grievances)’ (Nicole Niessen, 2005: 303). Parameter-parameter seperti ini merupakan bagian dari rambu-rambu penuntun (Orientatienormen) bagi Ombudsman dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan rambu-rambu tersebut dikembangkan dalam praktek Ombudsprudence.

Tags:

Berita Terkait