​​​​​​​PP Inikah yang Kita Harapkan untuk Menangani Covid-19 di Indonesia? Oleh: Fitriani Ahlan Sjarif*)
Kolom

​​​​​​​PP Inikah yang Kita Harapkan untuk Menangani Covid-19 di Indonesia? Oleh: Fitriani Ahlan Sjarif*)

Terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan lain PP ini.

Bacaan 2 Menit
  1. PP PSBB yang dibentuk ditujukan untuk kepentingan spesifik. Terlihat dari definisi PSBB yang ditentukan dalam PP yang berbeda dari definisi yang ada dari UU yang menjadi acuan. Seharusnya apabila PP merupakan delegasi dari UU, maka definisi yang digunakan adalah sama, karena PP hanya menjalankan UU induknya. PP PSBB ini memberikan definisi PSBB sebagai berikut yaitu “pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9)”. Sedangkan definisi PSBB dalam UU Kekarantinaan Kesehatan bersifat lebih umum yaitu “Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”
  1. Konsiderans PP sebagai peraturan delegasi UU, harusnya memuat pasal yang memberikan kewenangan delegasi untuk membentuk PP. Misalnya, apabila PP PSBB ini memang dimaksud menjalankan Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan tentang kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, maka konsiderans ‘menimbang’ PP PSBB harus menjelaskan bahwa pembentukan PP ini untuk menjalankan Pasal 60. Namun konsiderans menimbang PP PSBB tidak sama sekali menyebut pasal yang memberikan delegasi dari UU Kekarantinaan Kesehatan. Merujuk pada fakta demikian maka dapat dikatakan bahwa PP ini sebenarnya bukan peraturan delegasi yang tegas dari UU Karantina Kesehatan, tapi hanya sebagai  peraturan delegasi dari “perintah delegasi yang tidak tegas-tegas” disebutkan dari UU.
  1. PP PSBB terlihat terburu-buru dibuat sehingga pengaturannya cukup sederhana, tidak seperti PP pada umumnya. Pengaturan yang ada bahkan berisi pengulangan norma-norma yang ada di UU Kekarantinaan Kesehatan saja. Sebagai contoh, Pasal 4 (1) PP ini sama persis dengan Pasal 59 (3) UU Kekarantinaan Kesehatan.  Yaitu “Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum”. Tidak ada penjelasan lebih lanjutnya mengenai pelaksanaan PSBB. Penjelasan yang diharapkan misalnya menjelaskan klausul ‘meliburkan sekolah’, apakah ini dimaknai dengan benar meliburkan sekolah (secara keseluruhan) atau dapat dimaknai dengan mengganti cara pembelajaran sekolah yang konvensional menjadi sesuai dengan maksud PSBB, dengan e-learning atau bekerja dari rumah yang telah dilaksanakan selama ini? PP PSBB hanya menambahkan 2 ayat baru yang tidak secara praktis dapat dilaksanakan. Penjabaran pelaksanaan teknis yang seharusnya dimuat oleh suatu peraturan pelaksana dari suatu UU tidak terlihat dalam PP PSBB ini.
  1. PP ini seakan hanya memuat penegasan kembali bahwa kewenangan penyelenggaraan karantina kesehatan adalah mutlak ranah Pemerintah Pusat dan mengingatkan Pemerintah Daerah untuk harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Menteri Kesehatan sebelum melaksankan PSBB di wilayahnya. Tindakan penegasan ini tak bermakna apapun karena sesungguhnya dalam UU Kekarantinaan Kesehatan memang kewenangan menetapkan PSBB dimiliki oleh Menteri Kesehatan.
  1. Pada Pasal 5 (1) PP PSBB, berbunyi “Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.”  Kalimat ini sesungguhnya tidak memiliki makna apapun, sebagai peraturan pelaksana, bukannya memberikan penjelasan atas klausula umum di UU, PP ini malah menyatakan rujukan bagi Pemerintah Daerah memperhatikan UU yang ada di atas, yaitu UU Kekarantinaan Kesehatan. Tanpa penulisan klausula ini, pihak yang mendapatkan perintah dari PP, sudah selayaknya harus tunduk pada Undang-Undang.

 

Tidak sesuai harapan

Tentunya tak ada gading yang tak retak, begitu juga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. PP ini memang berbeda dari PP pada umumnya, yang dibentuk dalam waktu yang sangat singkat sehingga terdapat beberapa kesalahan baik prinsip maupun teknis yang dilakukan.

 

Dengan hanya memuat tujuh pasal dan beberapa norma yang isinya hanya mengulang norma yang ada di UU Kekarantinaan Kesehatan dan bahkan merujuk kembali kepada UU Kekarantinaan Kesehatan, membuat PP ini tak akan bermakna banyak sebagai pelaksanaan UU induknya. Apabila PP ini dibentuk hanya untuk memenuhi syarat formil bahwa “Harus ada PP untuk menjalankan UU” tetapi PP tersebut tidak memberikan pedoman substantial, maka kita dapat saja menyebut bahwa pembentukan PP ini sebenarnya sia-sia dan tidak sesuai harapan.

Tags:

Berita Terkait