PP OSS Dinilai Lemahkan Posisi Wajib AMDAL
Utama

PP OSS Dinilai Lemahkan Posisi Wajib AMDAL

Selama ini, posisi strategis AMDAL sebagai pengambil keputusan. Namun OSS justru mengesampingkan AMDAL dalam mempertimbangkan terbitnya izin lingkungan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Kadiv Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (Icel), Margaretha Quina, menegaskan bahwa pada dasarnya AMDAL berfungsi sebagai pencegahan atas pencemaran lingkungan yang mungkin disebabkan oleh sebuah proyek. Jika wajib AMDAL diletakkan dibelakang setelah izin lingkungan, fungsi pencegahan itu menjadi hilang.

 

Di sisi lain, lanjutnya, penerbitan izin lingkungan tanpa syarat wajib AMDAL jelas melanggar UU PPLH. Tindakan tersebut diancam dengan hukuman pidana sesuai dengan pasal 109, pasal 110, dan pasal 111 UU PPLH.

 

Pasal 109:

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 110:

Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 111:

(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

 

“Di mana-mana, setahu saya AMDAL itu posisinya di depan. Tujuannya apa, tujuannya ‘kan preventif. Bagaimana misalnya pelaku usaha sudah melakukan kegiatan usahanya tiba-tiba AMDAL-nya tidak diterima? Bagaimana?,” jelas Quina.

 

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, menambahkan bahwa JATAM menolak PP OSS ini. Meskipun sektor pertambangan belum masuk dalam perizinan yang diatur oleh OSS, tapi izin lingkungan pertambangan diatur oleh OSS.

 

Menurutnya, PP OSS justru mempercepat dan memperluas ekspansi pertambangan. Hal ini akan berdampak kepada masyarakat yang berada di lokasi pertambangan.

 

“Tidak ada ruang bagi masyarakat korban terdampak dan bahkan menghilangkan peran masyarakat sipil karena di dalam PP OSS tadi masyarakat yang dilibatkan cuma masyarakat terdampak, masyarakat lain seperti pemerhati lingkungan hidup termasuk NGO lain tidak mendapatkan ruang untuk melakukan monitoring,” ungkapnya.

 

Merah berpendapat jika keberadaan PP OSS ini hanya menguntungkan bagi investasi pertambangan dan kepastian berusaha. Sementara itu keterlibatan masyarakat atas rencana bisnis pertambangan menjadi terbatas. Apalagi, lokasi-lokasi pertambangan biasanya berada di remote area yang jauh dari transportasi, dan komunikasi.

 

Tags:

Berita Terkait