PPKHI: Pasal Pidana Advokat RUU KUHP Tak Tepat dan Mendiskriminasi Advokat
Terbaru

PPKHI: Pasal Pidana Advokat RUU KUHP Tak Tepat dan Mendiskriminasi Advokat

PPKHI menyayangkan Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP, karena dianggap mencoba mencampuri bahkan mendiskriminasi wilayah kemandirian profesi advokat sebagai penegak hukum.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Ketua DPD PPKHI Bali, I Kadek Duarsa, S.H., M.H. Foto: istimewa.
Ketua DPD PPKHI Bali, I Kadek Duarsa, S.H., M.H. Foto: istimewa.

Sebagai organisasi advokat legal dan terdaftar di Kemenkumham, Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) menyayangkan rancangan pengaturan tentang sanksi bagi advokat yang diatur khusus pada Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP. Menurut PPKHI, proses pembuatan regulasi yang berkaitan dengan kelangsungan profesi advokat seharusnya melibatkan para advokat maupun organisasi advokat yang terdaftar di Kemenkumham.

 

“Salah satu tujuan dari terdaftarnya organisasi advokat di Kemenkumham adalah untuk memudahkan sosialisasi dan koordinasi dengan pendataan yang ada. Sudah seharusnya proses pembuatan regulasi tersebut berkoordinasi dan mendapatkan masukan dari advokat maupun organisasi advokat,” kata Ketua DPD PPKHI Bali, I Kadek Duarsa, S.H., M.H.

 

Berikut adalah Rancangan Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP:

 

Pasal 282

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjelankan pekerjaanya secara curang:

a.   Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikann kepentingan pihak kliennya; atau

b.  Mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakimm dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

 

Pasal 515

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:

a.   Advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya; atau

b.  Suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

c.   Kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

 

PPKHI menilai, diaturnya advokat dalam RUU KUHP merupakan hal yang berlebihan dan diskriminatif, sebab bertentangan dengan hak imunitas profesi advokat sesuai Pasal 15 UU 18/2003(“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”) danPasal 16 UU 18/2003 (“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”). Diaturnya advokat juga dianggap dapat menimbulkan permasalahan baru, seperti konflik norma antar-regulasi yang menjadikan ketidakpastian dan kekacauan hukum.

 

“Hal ini sepatutnya dapat dikaji dari sisi filosofis, sosiologis, dan yuridis dari profesi advokat yang telah diatur dalam UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan merupakan lex specialis dari aturan perundang-undangan yang salah satunya mengatur penegak hukum. Di sisi lain, UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur sanksi pidana bagi advokat yang dalam menjalankan profesinya melakukan pelanggaran dan sumpah profesi dalam menjalankan tugasnya sebagai officium nobile,” jelas I Kadek Duarsa.

 

Adapun keberadaan Pasal 282 dan 515 KUHP sebenarnya tidak dibutuhkan. Pasalnya, aturan dan mekanisme pengawasan advokat telah sangat jelas diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta dikuatkan dengan Kode Etik Advokat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (1) UU 18/2003 (“Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”); Pasal 12 ayat (2) UU 18/2003 (“Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan”); Pasal 13 ayat (1) UU 18/2003 (“Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat); Pasal 13 ayat (2) UU 18/2003 (“Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat”); danPasal 13 ayat (3) UU 18/2003 (“Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat”).

 

"Ketika menjalankan tugasnya, meksipun ada kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh advokat, hal tersebut akan terlebih dulu diadukan ke organisasi advokat tempatnya bernaung. “Hal ini akan menjadi egaliter dalam penerapan aturan terhadap profesi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim. Untuk itu, kami advokat yang tergabung dalam PPKHI sangat menyayangkan dan berkeberatan dengan Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP yang mencoba mencampuri bahkan mendiskriminasi wilayah kemandirian profesi advokat sebagai penegak hukum,” I Kadek Duarsa menambahkan.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI).

Tags:

Berita Terkait