PPP Kubu Djan Faridz Minta Tafsir Aturan Sengketa Parpol
Berita

PPP Kubu Djan Faridz Minta Tafsir Aturan Sengketa Parpol

Majelis meminta Pemohon merekonstruksi kembali permohonannya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Djan Faridz. Foto: RES
Djan Faridz. Foto: RES
Masih tak terima dengan kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy, kader PPP kubu Djan Faridz yakni Ibnu Utomo bersama dua rekannya mempersoalkan Pasal 33 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (Parpol) ke MK. Mereka meminta tafsir konstitusional atas berlakunya Pasal 33 ayat (2) UU Parpol tersebut lantaran pelaksanaan putusan kasasi tidak jelas dalam hal sengketa kepengurusan parpol.

Pasal 33 ayat (2) UU Partai Politik menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi,” ujar kuasa hukum pemohon, Humprey R. Djemat dalam sidang perdana yang diketuai Aswanto di ruang sidang MK, Kamis (14/4) kemarin.

Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Parpol menyebutkan “Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.”Ayat (2) menyebutkan “Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.”

Pemohon menilai pasal itu menimbulkan multitafsir yang merugikan Pemohon dan berpotensi menghilangkan asas kepastian hukum yang adil yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kerugian terjadi karena Menteri Hukum dan HAM (Yasonna H Laoly) diduga mengabaikan putusan kasasi MA tentang penetapan kepengurusan PPP yang sah. Sebab, Menkumham berhak tidak menerbitkan keputusan pengesahan susunan kepengurusan parpol yang telah dibenarkan keabsahannya melalui putusan kasasi.

“Menkumham dapat saja menafsirkan, keputusan pengesahan susunan kepengurusan yang ditolak keabsahannya oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi,” tutur Humprey R. Djemat dalam persidangan.

Dia menilai partai politik tak lebih hanya sebagai alat yang dapat dikontrol oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan, para kader partai politik yang ditempatkan di DPR dapat dikontrol, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Menurut Pemohon, penafsiran konstitusional Pasal 33 ayat (2) UU Parpol adalah Menkumham wajib menerbitkan surat keputusan tentang pengesahan susunan kepengurusan parpol hanya kepada kepengurusan partai politik yang telah dinyatakan sah dalam putusan kasasi MA.

Kliennya, kata Humphrey, berpandangan jika Pasal 33 UU Parpol tidak ditafsirkan demikian, Menkumham dapat memberi keputusan pengesahan kepengurusan partai politik terhadap kepengurusan manapun yang tidak jelas tolok ukurnya. “Secara ekstrem memberi pengesahan kepada kepengurusan yang oleh MA telah dinyatakan sebagai tidak sah atau ilegal atau kepengurusan telah dinyatakan berakhir masa baktinya,” tegasnya.

Menanggapi permohonan, anggota Majelis Panel, Patrialis Akbar, meminta para Pemohon merekonstruksi lebih lanjut kerugian konstitusional yang mereka alami. “Kerugian ini perlu dipilah apakah kerugian itu disebabkan oleh berlakunya satu norma dalam pasal tertentu atau kerugian itu disebabkan adanya keputusan dari Menkumham? Ini harus dipilah,” pinta Patrialis.

Menurutnya, apabila kerugian yang dialami disebabkan Surat Keputusan Menkumham, Pemohon sebenarnya tidak dapat mengajukan permohonan ke MK. ”Kelihatannya agak sulit Saudara memilah karena petitum itu pada saatnya menjadi norma undang-undang. Nah, ini saya melihat ini agak sedikit rancu antara persoalan keputusan Menkumham dengan pengujian norma. Jadi nanti tolong direkonstruksi kembali permohonan ini,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait