Praktik Penerapan Aturan Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana
Kolom

Praktik Penerapan Aturan Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana

Dalam negara hukum, maka setiap penafsiran-penafsiran hukum, bermuara di putusan pengadilan, dan setiap putusan pengadilan dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan lebih tinggi yang menganulirnya.

Bacaan 2 Menit
Eric Manurung. Foto: Istimewa (Facebook)
Eric Manurung. Foto: Istimewa (Facebook)
Hukum untuk melindungi
Salah satu tujuan utama dari dibentuknya suatu hukum adalah untuk perlindungan. Tidak hanya melindungi setiap subyek hukum dalam lingkup keperdataannya namun juga dalam perbuatan pidana. Dalam hukum pidana, dianalogikan bagai menjadi pisau bermata dua, karena berfungsi untuk melindungi hak, harkat, martabat seseorang, namun di saat yang sama juga dapat mencelakakan bagi seseorang yang melanggarnya.

Dalam penerapan hukum pidana, dikenal suatu asas yang sudah berlaku secara universal, yakni “Presumption of Innocence” yaitu seseorang dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (In kracht van gewijsde) yang menyatakan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pula hak, harkat martabat seseorang yang dituduh, disangka melakukan suatu perbuatan pidana.

Dan dalam pelaksanaan proses suatu perkara pidana, juga harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang dengan aturan-aturan yang berlaku. Sehingga masyarakat tidak diperbolehkan “main hakim sendiri”. Atau yang sekarang santer kita dengar sebagai persekusi. Sebagaimana peristiwa persekusi yang menghebohkan masyarakat yang terjadi di Bekasi beberapa saat yang lalu, di mana seseorang dituduh mencuri amplifier suatu mushola, dan “dihakimi” oleh massa dengan cara membakar orang tersebut hingga mengakibatkan kematiannya.

Sekalipun berdasarkan keterangan polisi, yang dibakar diduga kuat pelaku pencurian. Namun terhadap pelaku pembakar juga akan diproses secara hukum. Dan saat ini, polisi sudah menetapkan 2 tersangka, dan tersangka lain masih dalam pengejaran. Hal inilah pemberlakuan hukum pidana seperti yang dikemukakan di atas, bagai pisau bermata dua.

Terhadap terduga pencuri, jika tertangkap diproses secara hukum, maka akan diadili, lalu divonis/dipidana sesuai kesalahannya sebagai pencuri. Namun, masyarakat yang menangkap, lalu “menghakimi” sendiri dengan cara membakar terduga pelaku pencuri tersebut, juga sekarang harus menghadapi proses hukum pidana bagi dirinya. Namun bagaimana, jika saat terjadi suatu peristiwa pidana, mengancam harkat martabat atau keselamatan korban, apa yang harus dilakukan?

Hukum untuk membela diri
Dalam hukum pidana yang berlaku secara umum di Indonesia, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP ini, diatur tentang tata cara untuk membela diri jika terjadi suatu peristiwa pidana yang menimpanya yakni pada Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (2). Pasal 48 disebut Daya Paksa (Overmaacht), Pasal 49 ayat (1) disebut sebagai (Noodweer), sedangkan Pasal 49 ayat (2) disebut sebagai (Noodweer ekses).

Pasal-pasal ini mengatur mengenai kategori pembelaan diri, dari mulai yang mengakibatkan cedera/luka ringan, luka berat, hingga kematian. Karena pembelaan diri juga, harus dilakukan karena adanya keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. Jika masih punya pilihan atau kesempatan maka sebaiknya dianjurkan untuk menghindar atau melarikan diri dan meminta pertolongan.

Asas dari pembelaan diri adalah keseimbangan. Yakni pembelaan atau perlawanan diri seseorang untuk mempertahankan harkat martabatnya, harus seimbang atau sama dengan serangan dari pelaku pidana terhadap dirinya. Jadi tidak diperbolehkan juga melakukan pembelaan dengan cara yang melebihi serangan yang menimpa dirinya, tidak boleh berlebihan. Makanya dianjurkan lebih baik menghindar atau melarikan diri, lalu minta tolong atau melapor kepada petugas Kepolisian untuk memproses hukum si pelaku pidana tersebut.

Sebagai contoh dari pemberlakuan Pasal 48 KUHP adalah, jika kita dipukul oleh seseorang, maka jika ada kesempatan/pilihan untuk menghindar dan melarikan diri, maka sebaiknya lakukan hal tersebut. Lalu melaporkan kepada pihak kepolisian, dengan dugaan penganiayaan. Namun jika ternyata tidak bisa menghindar dan melarikan diri, maka diperbolehkan untuk memukul si pelaku, namun untuk menghindari,membela diri dan bukan dengan sengaja memukuli pelaku hingga babak belur atau sampai mengakibatkan kematiannya.

Sedangkan penerapan pasal 49 ayat (1) KUHP hampir serupa dengan penerapan pasal 48, yakni jika kita ditodong/dicuri, maka jika memang diharuskan untuk mempertahankan harta benda, harkat martabatnya, korban dapat membela diri dengan cara memukul atau melumpuhkan si pelaku.

Setelah itu, melaporkannya kepada pihak kepolisian untuk diproses secara hukum. Tidak boleh setelah memukul atau melumpuhkan pelaku, lalu dengan sengaja atau amarah mengunakan pisau si pelaku untuk menusuk si pelaku hingga mengakibatkan kematian. Karena setiap pembelaan diri, tetap dibatasi oleh undang-undang. Karena jika kita yang menghakimi sendiri pelaku, sama saja kita telah melakukan persekusi. Dan kita dapat dipidana atas perbuatan tersebut.

Namun penerapan Pasal 49 ayat (2) KUHP, sedikit berbeda dari pasal 48 dan 49 ayat (1). Pasal ini mengatur mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas, namun harus adanya kegoncangan jiwa dari serangan yang dialaminya dari si pelaku. Artinya serangan yang dialaminya membuat korban terpaksa melakukan  pembelaan tersebut dengan kondisi berpikir tidak normal.

Sebagai contoh yang pernah dialami oleh seseorang anak berumur 17 tahun yang membela diri sehingga mengakibatkan ayah kandungnya terbunuh dengan 18 tusukan di daerah Jakarta Timur, di mana penulis menjadi pembelanya. Dari jumlah tusukan ditubuh korban, menceritakan kondisi si anak yang dalam “kegoncangan jiwa” tidak dalam kondisi normal.

Peristiwa bermula ketika si ayah, yang sering marah-marah dan mengancam akan membunuh istrinya (ibu si anak). Si anak yang mendengar hal tersebut, berusaha melerai dan menenangkan si ayah. Namun si ayah tidak terima, dan mengancam akan membunuh si anak juga. Si anak tetap menenangkan si ayah. Lalu si ayah pergi, dan si anak tidur siang di kamarnya.

Namun beberapa jam kemudian, tiba-tiba si ayah membuka pintu kamar dan masuk ke kamar si anak membawa sebilah golok, si anak lalu terbangun, dan si ayah seketika hendak membacokan golok tersebut ke kepala si anak. Si anak yang kaget, terkejut, shock, secara refleks menangkap golok tersebut dengan tangannya, sehingga mengakibatkan telapak tangan si anak robek, berlumuran darah. Sambil menenangkan ayahnya.

Melihat si ayah yang masih “kesetanan”, maka si anak berusaha melarikan diri lewat pintu belakang, namun si ayah tetap mengejar si anak, sambil mengatakan “kubunuh kau”. Saat si anak hendak membuka pintu belakang, si ayah mengayunkan lagi goloknya ke tubuh si anak, lalu si anak dengan refleks mengelak, lalu menendang perut si ayah, hingga si ayah tertunduk. Lalu si ayah berdiri tegak lagi dan hendak mengayunkan goloknya ke tubuh si anak lagi.

Tanpa ada perencanaan apapun, si anak yang dalam kondisi “tergoncang jiwanya” atas serangan bertubi-bertubi terhadap jiwannya, nyawanya, melihat ada sebilah pisau di dekatnya, lalu dengan seketika menangkis bacokan si ayah, mengambil pisau lalu menusukkan pisau tersebut tak tentu arah ke tubuh si ayah, dengan tujuan agar serangan terhadap dirinya berhenti. Lalu si anak melaporkan diri ke polisi.   

Peristiwa hampir serupa terjadi dalam suatu tindak pidana dimana pencuri terbunuh oleh korban pemilik harta benda yang akan dicuri. Pertama terjadi di daerah Jawa Timur sekitar tahun 2016, di mana pemilik rumah memukul pencuri yang masuk ke rumahnya dengan potongan besi ke kepalanya, hingga mengakibatkan si pencuri terbunuh.

Kedua, yang baru saja terjadi di bulan September tahun 2017 di daerah Jakarta Timur, di mana pencuri tertangkap basah di dalam rumah korban, lalu terjadi perkelahian, dan si pencuri tertusuk pisau belati, hingga mengakibatkan pencuri meninggal dunia.

Putusan Pengadilan
Sebagaimana contoh yang dijelaskan di atas tentang penerapan Pasal 48 (daya paksa) KUHP, Pasal 49 (ayat 1) KUHP (pembelaan diri), dan Pasal 49 ayat (2) KUHP (pembelaan diri yang melampaui batas). Namun tetap sebagaimana asas hukum pidana, tindakan seseorang apakah bersalah melakukan tindak pidana atau tidak, bergantung dari putusan pengadilan.

Dari contoh peristiwa yang terjadi di atas, terhadap peristiwa si ayah yang terbunuh oleh anaknya yang membela diri, penulis sebagai pembela, telah menjabarkan penerapan Pasal 49 ayat 2 dalam pembelaannya, sehingga si anak tidak dapat dipidana. Namun pihak kepolisian menangkap, menahan si anak dan memprosesnya secara hukum, hingga majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ternyata berpendapat berbeda dengan penulis. Si anak dihukum dengan pidana pembunuhan dengan Pasal 338 KUHP, dengan vonis selama 2,6 tahun penjara.

Begitu juga yang terjadi di daerah Jawa Timur. Di mana pemilik rumah yang melihat ada orang masuk ke rumahnya, dan mengambil barang miliknya, maka pemilik rumah tersebut, mengambil sepotong besi, dengan maksud melumpuhkan pelaku pencurian tersebut, lalu memukul si pelaku, yang ternyata mengenai kepalanya, hingga mengakibatkan si pencuri terbunuh, dan majelis hakim Pengadilan Negeri Gresik, menghukum pemilik rumah dengan vonis penjara selama 3 tahun.

Berbeda dengan dua kasus di atas, atas peristiwa yang hampir sama, pada kasus di Jakarta Timur, di mana pemilik rumah berduel dengan pencuri, rebutan belati, hingga mengakibatkan pencuri tertusuk belati dan meninggal dunia. Pihak kepolisian mengganggap hal tersebut dalam rangka Pembelaan Terpaksa yang melampaui batas sebagaimana Pasal 49 ayat (2) KUHP, sehingga si pemilik rumah tidak di proses secara hukum.

Penulis berpendapat, pada akhirnya, dalam negara hukum, maka setiap penafsiran-penafsiran hukum, bermuara di putusan pengadilan, dan setiap putusan pengadilan dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan lebih tinggi yang menganulirnya. Sehingga kita semua, suka atau tidak suka, sependapat atau tidak sependapat, harus menghargai setiap putusan pengadilan.

*)Eric Manurung, S.H. (Advokat)
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait