Presiden Jokowi Nilai Defisit BPJS Kesehatan Karena Salah Kelola
Berita

Presiden Jokowi Nilai Defisit BPJS Kesehatan Karena Salah Kelola

Penagihan iuran JKN harus diintensifkan. Sebanyak 133 juta peserta JKN-KIS iurannya ditanggung pemerintah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Jokowi. Foto: RES

Pemerintah telah menetapkan kenaikan iuran JKN-KIS mulai 1 Januari 2020. Kenaikan iuran itu dilakukan salah satunya untuk mengurai persoalan defisit dana jaminan sosial BPJS Kesehatan. Dari 222 juta peserta JKN-KIS, sekitar 133 juta peserta merupakan kategori penerima bantuan iuran (PBI). Iuran peserta PBI ditanggung oleh pemerintah melalui APBD dan APBN.

 

Dari hasil kunjungan mendadak Presiden Joko Widodo ke RSUD Dr.H.Abdul Moeloek, Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Jumat (15/11), dia menemukan pasien yang ditemui paling banyak peserta kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau bukan pekerja (BP) atau kerap disebut dengan istilah peserta mandiri. Dalam kunjungan itu Presiden Jokowi meninjau instalasi rawat jalan, dan bertanya langsung kepada sejumlah pasien. Presiden bertanya kepada pasien soal pemanfaatan dan pelayanan BPJS Kesehatan.

 

Kendati 90 persen pasien yang ditemuinya merupakan peserta JKN-KIS, Presiden Jokowi mengatakan sebagian besar peserta JKN-KIS yang dijumpainya itu merupakan peserta mandiri. Sebagaimana diketahui peserta mandiri membayar sendiri iurannya dengan besaran sesuai kelas perawatan yang diambil. Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menetapkan besaran iuran kelas I Rp160 ribu per orang setiap bulan, kelas II Rp110 ribu, dan kelas III Rp42 ribu.

 

Presiden Jokowi menghitung dari seluruh peserta JKN-KIS yang paling banyak atau sekitar 60 persen yakni peserta PBI. “Ini yang mau saya lihat. Karena yang PBI itu kan banyak. Dari pemerintah itu 96 juta plus dari Pemda itu 37 juta. Harusnya ini sudah mencakup 133 juta. Harusnya yang gratis 133 juta. Ada di mana? Siapa yang pegang? Saya hanya ingin memastikan itu,” katanya sebaaimana dilansir laman setkab.go.id.

 

Melihat komposisi kepesertaan JKN-KIS, Jokowi menilai persoalan defisit dana jamainan sosial BPJS Kesehatan harusnya bisa diatasi dengan mengintensifkan atau membenahi sistem penagihan iuran peserta mandiri. “Kita ini kan sudah bayari yang 96 juta (peserta), dibayar oleh APBN. Tetapi di BPJS terjadi defisit itu karena salah kelola saja. Artinya apa? Yang harusnya bayar pada enggak bayar. Artinya di sisi penagihan yang mestinya diintensifkan,” ujarnya.

 

Baca:

 

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat kunjungan mendadak Presiden Jokowi perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi riil tentang pelaksanan JKN-KIS di fasilitas kesehatan. Mengenai pemanfaatan pelayanan yang paling banyak dilakukan oleh peserta mandiri, Timboel melihat sejak 2014 sampai saat ini utilitas rawat jalan dan rawat inap peserta PBI selalu berada di peringkat paling bawah. Utilitas peserta mandiri berada pada peringkat paling atas dibandingkan peserta kategori lainnya.

 

Data 2018 tingkat utilitas peserta mandiri untuk rawat jalan 86,15 persen, PBI APBN 11,69 persen. Untuk rawat inap, utilitas peserta mandiri 9,73 persen, dan PBI APBN 2,69 persen. Sementara untuk total iuran sejak 2014 sampai sekarang PBI APBN menempati peringkat pertama, dan peserta mandiri paling bawah.

 

Soal rendahnya tingkat utilitas peserta PBI, Timboel mencatat sedikitnya ada 3 hal. Pertama, peserta PBI APBN belum tentu mengantongi kartu JKN-KIS ketika dia ditetapkan sebagai peserta PBI oleh Kementerian Sosial. Ini terjadi karena ada tenggang waktu 2-3 bulan bagi peserta PBI untuk mendapatkan kartu JKN-KIS. Berbeda dengan peserta mandiri yang bisa langung mengantongi kartu JKN-KIS setelah membayar iuran pertama.

 

Kedua, bisa jadi peserta PBI tidak mengerti bagaimana menggunakan kartu JKN-KIS dan peserta mandiri mengetahui bagaimana memanfaatkan kartu KIS ke fasilitas kesehatan. Ketiga, peserta PBI ketika dirujuk ke RS yang jaraknya jauh dari FKTP maka peserta PBI mengalami kendala yakni biaya transportasi. Selain itu keluarga yang mendapingi pasien juga butuh biaya untuk makan. Hal tersebut yang membuat peserta PBI minim memanfaatkan pelayanan di fasilitas kesehatan.

 

Imbauan Presiden Jokowi agar BPJS Kesehatan meningkatkan tata kelola menurut Timboel itu sangat tepat dan harus dilaksanakan oleh direksi BPJS Kesehatan. Program JKN-KIS dapat berjalan baik jika pelayanan terhadap masyarakat ditingkatkan. Pelayanan yang baik akan mendorong peserta untuk menunaikan kewajibannya membayar iuran secara rutin.

 

Selain itu Timboel mengingatkan tata kelola JKN-KIS juga terkait kewenangan lembaga selain BPJS Kesehatan. Misalnya, terkait regulasi seperti pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik sebagaimana mandat PP No.86 Tahun 2013. Salah satu persoalan yang dihadapi terkait sulitnya menagih tunggakan iuran karena ketidakmauan lembaga pelayanan publik mendukung JKN-KIS terkait pengenaan sanksi tersebut.

 

“BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan mengeksekusi sanksi. Kewenangan itu ada di lembaga pelayanan publik seperti pemda, polisi, dan imigrasi. Untuk masalah tunggakan iuran ini seharusnya Presiden Jokowi menyoroti ketidakmauan lembaga pelayanan publik itu,” kata Timboel di Jakarta, Sabtu (16/11).

 

Mengenai defisit dana jaminan sosial BPJS Kesehatan, Timboel mengatakan hal ini tidak hanya menjadi tanggungjawab BPJS Kesehatan tapi juga seluruh pemangku kepentingan seperti pemda, fasilitas kesehatan, Kementerian dan lembaga. Untuk mengatasi persoalan defisit menurut Timboel butuh dukungan seluruh pihak.

 

Tak ketinggalan Timboel mengusulkan Presiden Jokowi melakukan evaluasi kepada direksi BPJS kesehatan terkait target yang harus dicapai seperti universal health coverage di mana akhir Oktober 2019 jumlah peserta hanya 222 juta. Padahal target pemerintah untuk UHC atau jaminan kesehatan semesta pada 31 Desember 2019 sebanyak 254 juta atau 95 persen dari total penduduk Indonesia.

Tags:

Berita Terkait