Presiden Tak ‘Happy’ IPK Hanya Naik 1 Poin, Korupsi Sektor Swasta Mulai Dibidik
Berita

Presiden Tak ‘Happy’ IPK Hanya Naik 1 Poin, Korupsi Sektor Swasta Mulai Dibidik

TII juga merekomendasikan agar penegak hukum segera menerapkan PERMA No. 13 Tahun 2016.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki. Foto: setkab.go.id
Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki. Foto: setkab.go.id
Transparency International (TI) meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global untuk tahun 2016. Berdasarkan temuan TI, skor CPI Indonesia meningkat tipis satu poin dari 36 menjadi 37. CPI Indonesia menduduki urutan ke-90 dari 176 negara. Seperti diketahui, skor penilaian CPI berada dalam rentang 0 untuk kategori sangat korup, hingga 100 untuk kategori sangat bersih.

Atas kenaikan satu poin ini, Kepala Staf Presiden, Teten Masduki menuturkan Presiden belum merasa puas atas skor CPI tahun 2016 ini. “Pasti Presiden tidak happy kalau CPI kita hanya naik 1 poin. Kita berharap skornya lebih baik karena mau tidak mau CPI menjadi acuan bisnis, acuan investasi,” katanya usai acara Lauching CPI 2016 yang diadakan Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Rabu (25/1).

Meski begitu, Teten mengambil sisi positif dari kenaikan CPI Indonesia. Ia menilai, kenaikan CPI menunjukan adanya perbaikan. Pertama, dalam hal kemudahan bisnis dan kedua kepastian bisnis. Kepastian bisnis meningkat seiring dengan adanya kepastian hukum dan menurunya potensi suap. Hal ini membuat orang tidak ragu untuk berbisnis dan berinvestasi di Indonesia.

Selain itu, sambung Teten, kenaikan CPI tak lepas dari perbaikan reformasi birokrasi, pelayanan publik, serta penyederhanaan-penyederhanaan bisnis yang dibuat dalam paket kebijakan ekonomi. Sementara, untuk reformasi hukum, belum terlihat jelas hasilnya karena masih relatif baru. Jika aspek reformasi birokrasi dan hukum sudah maksimal, ia berharap, CPI Indonesia akan terus membaik.

Mengenai permasalahan korupsi di Indonesia, Teten mengungkapkan, perlu adanya penanganan serius karena masih terdapat celah di pemerintah dan sektor bisnis. Sebagaimana diketahui, korupsi paling banyak terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah. Celakanya, korupsi tidak hanya terjadi dalam pelaksanaan pengadaan/tender, tetapi sejak penganggaran.

“Jadi, kita sedang berusaha dari sisi pemerintah, bagaimana pengadaan barang dan jasa itu, dari mulai penganggaran sampai ke pengadaan atau tendernya seminimal mungkin peluang untuk terjadinya korupsi kita batasi. Tapi, dari sisi penawaran korupsinya yakni dari sektor swasta, ini juga perlu kita urusi,” kata dia. (Baca Juga : 3 Catatan Jokowi untuk Tingkatkan Indeks Persepsi Korupsi)

Ia mengungkapkan, Indonesia sudah memiliki Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang menggunakan ISO 37001 (Manajemen Sistem Anti Penyuapan) guna mencegah penawaran-penawaran suap dari sektor bisnis (swasta). Namun, sistem itu dirasa belum cukup, sehingga TI mengusulkan perlu adanya Undang-Undang (UU) khusus yang dapat mengkriminalisasikan praktik korupsi di dalam swasta itu sendiri.

“Misalnya korupsi dalam pengadaan (pemerintah) itu kan bisa dengan UU Tipikor memidanakan swasta. Tapi, kalau korupsi di dalam swasta itu sendiri, misalnya memanipulasi laporan keuangan, memanipulasi aset, apalagi perusahaan swasta yang listing di bursa, lalu masyarakat membeli sahamnya, terus masyarakat tertipu karena asetnya bodong. Nah, ini penting supaya ada efek jera,” jelasnya.

Karena itu, Teten akan mengundang TI untuk mempresentasikan usulan dan hasil temuannya di Kantor Staf Presiden. Dirasanya, TI perlu memaparkan hasil temuan-temuannya secara mendetil kepada Pemerintah. Sebab, hal tersebut sangat penting untuk menentukan langkah apa yang akan dilakukan pemerintah selanjutnya.

Terkait kenaikan CPI Indonesia, Sekretaris Jenderal TII Danang Trisasongko mengatakan hal ini menandakan masih berlanjutnya tren positif pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam rentang lima tahun, sejak 2012, skor CPI Indonesia meningkat lima poin. Namun, ia menganggap peningkatan lima poin dalam waktu lima tahun masih tergolong lambat untuk mencapai target 50 pada akhir 2016. (Baca Juga : Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Membaik)

“Peningkatan skor CPI lambat karena pemberantasan korupsi selama ini hanya fokus pada sektor birokrasi. Reformasi birokrasi memang berkontribusi terhadap perbaikan integritas layanan publik dan menyumbang kenaikan skor CPI rata-rata 1 poin setiap tahun. Strategi pemberantasan korupsi nasional masih belum memberikan porsi besar terhadap korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis,” katanya. (Baca Juga : Perbaiki Indeks Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Fokus pada 7 Sektor)
Skor (2015/2016) Peringkat Regional (2015/2016) Peringkat Global (2015/2016) Negara
85/85 2/2 8/7 Singapura
(Skor turun, peringkat naik)
*/58 */8 */41 Brunei
Keterangan : (*) tidak ada data
50/49 9/10 54/55 Malaysia
(Skor turun, peringkat turun)
36/37 15/15 88/90 Indonesia
(Skor naik, peringkat turun)
38/35 11/18 76/101 Thailand
(Skor turun, peringkat turun)
35/35 16/18 95/101 Filipina
(Skor tetap, peringkat turun)
31/33 17/21 112/113 Vietnam
(Skor naik, peringkat turun)
21/30 21/23 139/123 Laos
(Skor naik, peringkat naik)
22/28 24/25 147/136 Myanmar
(Skor naik, peringkat naik)
21/21 25/28 150/156 Kamboja
(Skor tetap, peringkat turun)
Sumber : CPI 2016 yang dilansir TI

Target CPI dan rekomendasi TII
Dalam kesimpulan TII, Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang mengalami konsistensi kenaikan skor dalam lima tahun terakhir. Kenaikan itu membuat posisi Indonesia semakin mendekati rata-rata regional di ASEAN dengan skor 41. Dengan kombinasi strategi pemberantasan korupsi birokrasi dan grand corruption yang melibatkan pihak swasta, bukan tidak mungkin dalam 5 atau 10 tahun lagi, posisi Indonesia berada di atas rata-rata skor grup elit di G20.

Dalak kesempatan ini, TII juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah pusat/daerah, penegak hukum, swasta, serta masyarakat sipil. Khusus untuk pemerintah pusat/daerah, TII merekomendasikan, antara lain agar tetap fokus dan perkuat reformasi penegakan hukum dan peningkatan integritas sektor publik, tim saber pungli harus lebih agresif dan masif, serta segera menerbitkan perangkat hukum yang memastikan swasta mengembangkan dan menerapkan sistem integrasi bisnis.

Sementara, untuk KPK, Polisi, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung, TII merekomendasikan agar menjadikan KPK sebagai focal point untuk mendorong program antikorupsi sektor swasta, serta mendorong lembaga-lembaga penegak hukum agat segera mendayagunakan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi sebagai instrumen hukum untuk meningkatkan risiko korupsi bagi kalangan swasta.
Tags:

Berita Terkait