Presidential Threshold dan Masa Depan Hukum Pemilu
Kolom

Presidential Threshold dan Masa Depan Hukum Pemilu

Hukum justru menjadi beku dan pasif, alih-alih responsif dengan tetap mempertahankan ketentuan presidential threshold.

Bacaan 5 Menit

Konstitusi adalah pembuluh darah negara. Peraturan di bawahnya seperti undang-undang haruslah menjadi pipa untuk mensirkulasikan nilai dan semangat konstitusi. Sebab itu, agar implementasi undang-undang dapat mengarah kembali kepada ide atau jantung konstitusi, undang-undang sebagai penjabaran konstitusi tidak boleh bersilangan dengan apa yang digariskan konstitusi.

Melihat adanya pengaturan presidential threshold dalam UU Pemilu, hal tersebut justru menciptakan kontradiksi atau ketidakselarasan dengan semangat konstitusi, yang sebetulnya telah membuka ruang selebar-lebarnya bagi partai politik peserta Pemilu untuk mengusul calon presiden dan wakil presiden tanpa dibatasi oleh ambang batas perolehan suara atau kursi di parlemen. Inkonsisten ini tentu berakibat tidak terselenggaranya ketertiban atau kepastian hukum yang memegang prinsip mendasar, yakni kesesuaian peraturan turunannya (undang-undang) dengan peraturan yang lebih tinggi (konstitusi).

Keadilan

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif pada Pemilu 2024 mendatang akan dilakukan serentak. Namun, dengan tetap menerapkan tata cara penentuan calon presiden dan wakil presiden sesuai Pasal 222 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, ini menimbulkan problem mendasarkan mengenai keadilan. Selain mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden berdasarkan perolehan kursi atau suara sah secara nasional, pasal tersebut juga mengatakan perolehan suara sah atau kursi tersebut didasarkan pada hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Ketentuan ini memantulkan ketidakadilan (unfairness) karena menggunakan ukuran atau hasil Pemilu sebelumnya (Pemilu 2019) untuk Pemilu mendatang yang jelas berbeda (Pemilu 2024). Dampaknya, jelas, partai-partai besar sesuai hasil Pemilu sebelumnya akan memainkan peran sentral, sementara partai kecil atau menengah bakal amat bergantung pada partai besar.

Alhasil, selain tidak menumbuhkan kemandirian dan menguntungkan partai besar, ketentuan menggunakan standar ukuran Pemilu sebelumnya dalam pengusungan calon presiden dan wakil presiden juga dapat menghadirkan kompetisi yang tidak adil dan sehat dalam penyelenggaraan Pemilu.

Keadilan adalah mahkota hukum. Karenanya, hukum harus dapat menjadi perkakas melahirkan keadilan. Namun, yang terjadi, dengan persyaratan ketentuan presidential threshold yang didasarkan pada perolehan suara atau kursi dari Pemilu legislatif sebelumnya—untuk Pemilu yang sebetulnya berbeda—ini tentu adalah hal yang tidak wajar.

Undang-undang yang tidak wajar atau tidak menumbuhkan keadilan bukanlah undang-undang yang baik pada dasarnya. Undang-undang adalah ibarat “aturan permainan”. Agar permainan berjalan adil, setiap pemain harus ditempatkan dalam kedudukan setara, yang tercermin umpamanya dengan kesempatan “start” dari titik yang sama.

Tags:

Berita Terkait