Pro Kontra Pakar Soal Penghapusan Syarat Justice Collaborator di PP 99/2012
Utama

Pro Kontra Pakar Soal Penghapusan Syarat Justice Collaborator di PP 99/2012

Indriyanto berpendapat efek jera harus dinyatakan berhenti saat putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Namun, Mahfud berpendapat revisi PP No.99 Tahun 2012 sebagai langkah mundur.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bersama Pakar Hukum Tata Negara Sardi Isra dan dosen Hukum Tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar usai bertemu pimpinan KPK, Jakarta, Jum'at (12/8).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bersama Pakar Hukum Tata Negara Sardi Isra dan dosen Hukum Tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar usai bertemu pimpinan KPK, Jakarta, Jum'at (12/8).
Rencana pemerintah untuk merevisi PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menuai pro dan kontra di kalangan pakar hukum. Pasalnya, salah satu yang akan direvisi adalah syarat untuk mendapatkan remisi bagi koruptor.

Sebagaimana ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a PP No.99 Tahun 2012, syarat pemberian remisi bagi narapidana kejahatan terorganisasi, seperti korupsi, yaitu bersedia menjadi justice collaborator (JC) atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. (Baca Juga: LPSK Minta Tuntuan Justice Collaborator Konsisten, KPK: Tergantung Kontribusi)

Pakar hukum pidana yang juga mantan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji berpendapat, rencana pemerintah untuk menghilangkan syarat tersebut memang bisa dianggap tidak populis. Namun, langkah pemerintah untuk menghapuskan syarat JC itu juga layak dipertimbangkan.

"Over capacity penjara sudah tidak bisa teratasi, karena itu, salah satu (solusinya) adalah revisi (PP No.99 Tahun 2012). (Tapi) Sebaiknya, revisi PP ini jangan sampai juga menimbulkan anggapan adanya inkonsistensi pemerintah terhadap pemberantasan korupsi," katanya kepada hukumonline, Jumat (12/8).

Indriyanto menjelaskan, salah satu pertimbangan mengapa PP itu layak direvisi adalah belum adanya kesamaan persepsi antara penegak hukum dalam mengimplementasikan status JC untuk pelaku tindak pidana. Misalnya, ketika KPK telah menetapkan pelaku tindak pidana korupsi sebagai JC, ternyata malah dibatalkan oleh hakim

Pertimbangan lainnya, sambung Indriyanto, dalam pemahaman sistem pemidanaan, penerapan filosofi efek jera harus dinyatakan berhenti saat putusan hakim berkekuatan hukum tetap, Sementara, pemerintah, dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan, wajib menerapkan rehabilitasi dan resosialisasi kepada semua terpidana.

"Tanpa adanya diskriminasi terhasap jenis delik terpidana, sehingga policy pemerintah inilah yang jadi salah satu pertimbangan. Dalam konteks politik hukum, tindakan revisi oleh pemerintah bagi rehabilitasi dan resosialisasi dibenarkan secara universal, walau dianggap miskin dan tidak populis kebijakan ini," ujarnya.

Di lain pihak, pakar hukum sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menyatakan tidak setuju jika syarat JC harus dihapuskan dalam PP No.99 Tahun 2012. Ia termasuk salah satu yang tidak setuju dengan segala bentuk peringanan-peringanan terhadap koruptor. (Baca Juga: KPK Tolak Syarat Justice Collaborator Dihilangkan dari PP 99/2012

Menurutnya, walau ada yang berpendapat bahwa setiap narapidana harus diperlakukan sama tanpa adanya diskriminasi, faktanya di dunia internasional pun, ada perbedaan perlakuan, dalam hal hukuman maupun fasilitas terhadap tindak pidana tertentu, seperti korupsi, terorisme, dan narkotika.

"Di seluruh negara, itu dianggap kejahatan yang sangatt membahayakan, sehingga tidak disamakan pemberlakuannya dan fasilitasnya. Kalau (narapidana) yang lain, misalnya karena berkelakuan baik, diberi kesempatan untuk segera melakukan sosialisasi di tengah masyarakat. Nah kalau korupsi itu tidak," terangnya di KPK.

Apabila syarat JC akan dihapuskan dari PP No.99 Tahun 2012, Mahfud menilai upaya tersebut sebagai langkah mundur. Bagi Mahfud, korupsi sangat membahayakan dan menghancurkan bangsa. Oleh karena itu, hukumannya harus diperberat dan tidak boleh mendapat keistimewaan.

Apalagi, lanjut Mahfud, beredar isu-isu koruptor yang masih bisa keluar untuk makan di restauran. Bahkan, ada informasi, seakan-akan, ada pimpinan daerah yang menerima tamu para kepala dinas dan pejabat daerah untuk menerima laporan dan menyetor. "Jadi, harus diperketat. Tidak boleh lagi buka kantor di penjara," tuturnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif juga menyatakan tidak setuju dengan rencana pemerintah untuk menghapus syarat JC bagi narapidana korupsi yang akan mendapatkan remisi. Ia mengaku, pihak KPK belum secara resmi dimintai pendapat soal revisi PP No.99 Tahun 2012.

"Terus terang mempermudah mendapatkan remisi perlu diperhatikan secara baik, karena salah satu (tujuan) pemidanaan itu untuk menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, saya pikir bahwa rancangan peraturan pemerintah dan Pak Agus (Ketua KPK) juga sudah bicara kemarin. Ini kami, kurang sependapat," katanya. (Baca Juga: Advokat Bisa Adukan Jaksa Jika Justice Collaborator Ditolak)

Laode berpensapat, argumen Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang menjadikan pengetatan remisi sebagai alasan over capacity, tidak beralasan. "Karena narapidana korupsi itu cuma mungkin satu persen dari jumlah narapidana lain. Jadi, menurut saya harus ada syarat untuk melakukan revisi," imbuhnya.

Namun, Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly membantah jika KPK tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan rencana penggantian konsep pemberian remisi untuk narapidana kejahatan terorganisasi. "Itulah yang tidak benar, jadi kan ada timnya (KPK) yang dikirim di sana," ujarnya di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta.

Yasonna mengatakan, aturan syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan jangan sampai melanggar UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pada prinsipnya, revisi ini hanya untuk menghilangkan diskriminasi syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.

Untuk diketahui, di era kepemimpinan Menkumham Amir Syamsuddin, pemerintah juga menerbitkan sejumlah kebijakan mengenai pengetatan hak-hak warga binaan. Beberapa diantaranya, Permenkumham No.21 dan Surat Edaran Menkumham No.M.HH-13.PK.01.05.06 Tahun 2014 tentang pelaksanaan PP No.99 Tahun 2012.
Tags:

Berita Terkait