Pro Kontra Pencabutan Permenkes Apotek Rakyat
Berita

Pro Kontra Pencabutan Permenkes Apotek Rakyat

Pencabutan dinilai tak tepat jika alasannya menyamaratakan apotek rakyat yang ‘nakal’. Di sisi lain, keberadaan apotek rakyat membahayakan lantaran tak memiliki standar yang jelas.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Puluhan juta obat palsu tersebut diamankan petugas dari 5 gudang produksi dikawasan Serang, Banten, Jawa Barat.
Puluhan juta obat palsu tersebut diamankan petugas dari 5 gudang produksi dikawasan Serang, Banten, Jawa Barat.
Imbas dari terungkapnya puluhan juta butir obat ilegal dan kedaluwarsa oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu terus bergulir. Bahkan, operasi gabungan kedua lembaga itu mengerucut kepada ditutupnya tujuh apotek rakyat di bilangan Pasar Jumat, Jakarta.

Lagi-lagi, ‘bola salju’ terhadap masalah ini kembali bergulir. Kali ini, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengusulkan pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/MENKES/SK/III/2007 tentang Apotek Rakyat karena terjadi banyak pelanggaran. Kementerian Kesehatan telah menargetkan penghapusan apotek rakyat pada 2016 dengan menaikan statusnya menjadi apotek atau menurunkan menjadi toko obat. (Baca Juga: BPOM dan Polisi Ungkap Perkara Puluhan Juta Butir Obat Ilegal)

Usulan itu menimbulkan pro dan kontra, Sebut saja dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Ketua Umum IAKMI Adang Bachtiar menilai tidak tepat jika alasan pencabutan Permenkes Apotek Rakyat lantaran ada beberapa apotek rakyat yang kedapatan menjual obat-obatan palsu dan ilegal.

"Kurang tepat kalau dalam sekelompok usaha ada yang salah, kemudian 'digebyah uyah' atau disamaratakan, lalu seluruhnya ditutup," kata Adang dihubungi di Jakarta, Kamis (15/9).

Menurutnya, beberapa apotek rakyat yang ‘nakal’ itu jumlahnya hanya sebagian kecil dari apotek rakyat yang ada di Indonesia. Adang menilai,siapapun berhak membuka usaha apapun selagi memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan melalui peraturan yang dibuat pemerintah. Dia meyakini, masih lebih banyak apotek rakyat yang menjalankan usaha secara jujur sesuai aturan.

"Pemerintah justru seharusnya memperluas akses para pelaku usaha apotek rakyat supaya bisa menjamin mutu dan keamanan obat yang mereka jual, bukan malah menyapu bersih seluruh apotek rakyat hanya gara-gara sebagian kecil berbuat 'nakal'," tuturnya. (Baca Juga: Penjualan Obat Ilegal Marak, Permenkes Apotek Rakyat Perlu Dievaluasi)

Ha berbeda diungkapkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Ia menilai apotek rakyat sebagai apotek ‘abal-abal’ lantaran tak memiliki kriteria dan standar yang jelas. Bahkan, mayoritas apotek rakyat juga tidak memiliki apoteker sebagaimana diatur dalam Permenkes Apotek Rakyat.

"Itu merupakan kebijakan regulasi yang kontraproduktif yang berawal dari masa Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari yang melegalkan apotek rakyat beroperasi," kata Tulus.

Padahal secara regulasi, lanjut Tulus, sebuah apotek harus ditunggui oleh seorang apoteker dan asisten apoteker. Namun, banyak apotek rakyat yang tidak memenuhi ketentuan itu. "Terbukti apotek rakyat menimbulkan masalah karena banyak obat ilegal dan palsu beredar dari apotek tersebut. Karena itu, YLKI mendesak Permenkes Apotek Rakyat dicabut karena menjadi sumber masalah bagi distribusi dan peredaran obat ilegal," tuturnya.

Kewenangan BPOM
Anggota Komisi IX DPR Adang Sudrajat mengatakan persoalan penambahan kewenangan BPOM untuk dapat melakukan penindakan hukum baru diagendakan tahun 2017-2018 dalam bentuk penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU). Tapi hingga kini draf RUU-nya belum ada.

"Wacana untuk menambah kewenangan BPOM itu dalam rangka perumusan di undang-undang. RUU-nya belum ada. Kami ingin itu menjadi agenda di 2017 dan 2018," kata Adang. (Baca Juga: Wapres JK Minta BPOM Perketat Pengawasan Peredaran Obat)

Dia mengatakan selama ini payung hukum keberadaan BPOM hanya didasarkan pada pasal 67-69 Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Atas dasar itu, BPOM perlu memiliki landasan hukum berupa undang-undang untuk mendapatkan kewenangan penindakan sehingga dalam penindakan pelanggaran terkait peredaran obat dan makanan tidak tergantung pada lembaga penegak hukum lain yang sifatnya delegatif.

BPOM, lanjut Adang, selama ini memang memiliki Penyelidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang memiliki keterbatasan wewenang. "Bahkan, wewenang PPNS itu pun saat ini masih berupa mengusulkan kepada pemberi izin dalam hal ini pemerintah daerah untuk mencabut izin perusahaan yang diduga melakukan kesalahan," kata dia.

Selain itu, kata dia, keterbatasan PPNS selama ini dalam hal penyelidikan kasus obat dan vaksin palsu hanya bersifat administratif untuk menemukan fakta di lapangan. Untuk menetapkan tersangka, BPOM harus melalui kepolisian untuk menyidik atau kejaksaan kemudian melakukan penuntutan.
Tags:

Berita Terkait