Problem Judex Factie dalam Penanganan Kasasi di MA

Problem Judex Factie dalam Penanganan Kasasi di MA

Ada pergeseran makna kasasi ke arah banding sempurna, sehingga membuat Mahkamah Agung tak ubahnya seperti Pengadilan Tinggi dengan fungsi banding kedua.
Problem Judex Factie dalam Penanganan Kasasi di MA

Sebuah penelitian yang dirilis oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada tahun 2010 yang diberi judul Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung bahkan sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Data LeIP yang dipaparkan dalam penelitian tersebut, menunjukkan sejak tahun 2005-2009, peningkatan arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung sebesar 14-16 persen per tahun. Pada tahun 2005 perkara yang masuk ke Mahkamah Agung sebanyak 7.468 buah perkara, sementrara pada tahun 2009 jumlah perkara yang masuk meningkat drastis menjadi sebanyak 12.450 buah perkara.

Sebagai pengadilan judex jurist, Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga kesatuan hukum, berwenang dan bertugas memeriksa dan memutus permohonan kasasi; sengketa kewenangan mengadili; dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Khusus kewenangan memeriksa dan memutus permohonan kasasi, M.H. Silaban dalam Kasasi-Upaya Hukum Acara Pidana (1997:6) menjelaskan, kasasi adalah salah satu bentuk pengawasan atas penerapan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan. Tujuan diadakannya kasasi adalah untuk membina dan menjaga kesatuan penerapan hukum dengan harapan terciptanya rasa keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat.

Namun, sebagai akibat dari tingginya arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung, terdapat sejumlah inkonsistensi dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. Publik bisa melihat contohnya dalam putusan kasasi No. 69 K/Pid.Sus/2013 dengan putusan kasasi No. 103 K/Pid.Sus/2013. Dua perkara terkait korupsi ini pertanyaan hukumnya adalah apakah pembuktian ada tidaknya kerugian keuangan negara harus berdasarkan pemeriksaan BPK atau BPKP, atau dapat dilakukan dengan alat-alat bukti lainnya. Atas pertanyaan hukum itu pertimbangan putusan dalam dua putusan tersebut saling bertolak belakang. Hal ini menjadi salah satu contoh inkonsistensi Mahkamah Agung dalam memutus permohonan kasasi.

Dalam Kertas Kebijakan Pengurangan Arus Perkara ke MA yang dikeluarkan LeIP (2017), disebutkan bahwa sebagai peradilan kasasi dan peninjauan kembali, Mahkamah Agung idealnya melaksanakan fungsinya sebagai judex jurist. Artinya, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa fakta dalam proses penanganan perkara. Secara ideal, perkara yang diperiksa adalah putusan atau penetapan yang bermasalah secara hukum, sehingga Mahkamah Agung dikenal juga dengan judex jurist

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional