Problem Konstruksi Hukum Alimony
Kolom

Problem Konstruksi Hukum Alimony

Perlu dilakukan pendekatan kompromi untuk menjembatani perbedaan hukum agama dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum alimony di Indonesia.

Bacaan 7 Menit

Di Indonesia, ketentuan tentang alimony diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.” Kata “dapat” dalam Pasal tersebut merupakan formula disjungtif, yang mengandung arti kebolehan, sehingga hakim memiliki kewenangan karena jabatannya (ex-officio) untuk menentukan kewajiban kepada bekas suami, meski tidak ada tuntutan dari pihak istri. Namun, dalam Pasal tersebut tidak ada penjelasan terkait sampai kapan kewajiban kepada bekas suami tersebut berlaku, apakah sampai bekas istri menikah kembali, meninggal, atau memiliki kemampuan keuangan secara mandiri. Rumusan Pasal yang demikian karena terkait sampai kapan kewajiban bekas suami pasca perceraian terhadap bekas istri terdapat keragaman hukum berdasarkan agama, antara muslim dan non-muslim. Ketentuan Pasal ini terkait dengan permanent alimony, yaitu tunjangan keuangan yang dibayarkan pasca terjadi perceraian.

Jika ditelusuri, dapat ditemukan bahwa ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan bentuk kompromi antara ketentuan hukum perdata Barat dengan ketentuan hukum Islam. Dalam Pasal 225 KUH Perdata diatur bahwa bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup baginya dari harta pihak lain, dalam arti bahwa penentuan kewajiban alimony dalam KUH Perdata berdasarkan kemampuan pasangan. Sedangkan dalam hukum Islam, penentuan kewajiban alimony berdasarkan jenis kelamin, yaitu pihak suami, karena tunjangan nafkah pasca perceraian yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah hanya dibebankan kepada bekas suami, berdasarkan ketentuan Pasal 149 dan Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pengaturan permanent alimony bagi muslim terdapat dalam KHI. Dalam Pasal 149 KHI diatur bahwa apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib: a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri, kecuali bekas istri belum dicampuri, dan b) nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz, dan dalam keadaan tidak hamil. Kemudian dalam Pasal 158 KHI ditentukan bahwa mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a) belum ditetapkan mahar bagi isteri yang telah dicampuri, dan b) perceraian itu atas kehendak suami. Sementara dalam Pasal 159 KHI disebutkan bahwa mut`ah dianjurkan diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka kewajiban pembayaran alimony bagi suami muslim hanya terbatas pada nafkah selama dalam masa iddah, kurang lebih selama tiga kali suci atau 90 hari atau sampai melahirkan jika bekas istri dalam kondisi hamil, dan mut’ah.

Sementara pengaturan permanentalimony bagi non-muslim terdapat dalam KUH Perdata Pasal 225 yang menyatakan bahwa bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup baginya dari harta pihak yang lain. Kewajiban untuk memberi tunjangan hidup tersebut berlangsung sampai dengan kematian mantan suami atau istri sebagaimana diatur dalam Pasal 227. Namun demikian, berdasarkan Pasal 329b, penetapan mengenai tunjangan nafkah tersebut dapat diubah atau dicabut oleh hakim.

Ketentuan hukum terkait kewajiban temporary alimony dapat ditemukan dalam Pasal 24 ayat 2 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat 2 huruf a KHI, yang menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat: a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. Penentuan kewajiban nafkah dalam hal ini juga berdasarkan jenis kelamin, yaitu pihak suami, selaras dengan ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai bentuk kompromi antara hukum perdata Barat dengan hukum Islam.

Pengaturan alimony dalam berbagai peraturan perundang-undangan di atas telah mengakomodir perbedaan yang ada di masyarakat karena faktor perbedaan hukum agama. Namun demikian, terdapat pengaturan alimony yang tampaknya tidak mengakomodir keragaman hukum agama yang ada yaitu terkait dengan pembagian gaji suami PNS apabila terjadi perceraian.

Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, apabila perceraian atas kehendak PNS pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, dengan pembagian gaji sepertiga untuk PNS pria, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anaknya, dan apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya, sampai dengan bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait